Tuesday 24 February 2009

Hernia Scrotalis

HERNIA
Secara umum hernia merupakan penonjolan (protrusi) sebagian atau seluruh viscus dari posisi normalnya melalui suatu celah (defek atau bukaan) dimana organ dalam itu berada.

Hernia eksternal merupakan protrusi abnormal organ intra-abdominal melewati defek fascia pada dinding abdominal. Hernia yang sering terjadi adalah inguinal, femoral, umbilical, dan paraumbilikal.
Hernia inguinalis merupakan protrusi viscus (organ) dari kavum peritoneal ke dalam canalis inguinalis.
Semua hernia terjadi melalui celah lemah atau kelemahan yang potensial pada dinding abdomen yang dicetuskan oleh peningkatan tekanan intraabdomen yang berulang atau berkelanjutan
Kausa :
1. Defek congenital
Kantong peritoneal kongenital merupakan factor predisposisi terjadinya hernia pada awal
kehidupan, dapat berupa:
• Prosesus vaginalis persisten yang dapat menyebabkan terbentuknya hernia inguinal indirek
• Obliterasi inkomplit dari umbilicus yang mnyebabkan terjadinya hernia umbilical
2. Defek aquisita
Kelemahan pada dinding abdomen anterior yang dapat disebabkan oleh:
• Insisi pembedahan yang menyebabkan hernia insisional
• Kelemahan otot akibat obesitas dengan infiltrasi lemak, kehamilan, atau proses ketuaan normal
Faktor presipitasi
Herniasi terjadi ketika tekanan intraabdomen naik karena beberapa factor seperti:
• Batuk kronis
• Konstipasi
• Obstruksi leher vesika atau uretral
• Parturisi
• Muntah
• Penggunaan otot berlebihan
• Keganasan abdomen dengan ascites

Macam-macam hernia:
Berdasarkan keadaaan klinisnya:
1. Hernia reponibilis
Merupakan hernia yang dapat direposisi tanpa operasi
2. Hernia ireponibilis
Adalah hernia yang tidak dapat kembali ke cavum abdominale kecuali dengan bantuan operasi
3. Hernia incarserata
Merupakan hernia ireponibilis yang sudah disertai tanda-tanda ileus mekanis (usus terjepit sehingga aliran makanan tidak bisa lewat)
Berdasarkan arah hernia:
1. Hernia eksternal
Merupakan hernia yang arah penonjolannya dapat dilihat ke arah luar

Klasifikasinya adalah:
• Hernia inguinalis
• Hernia femoralis
• Hernia umbilical dan para-umbilikal
• Hernia epigastrika
• Hernia insisional
• Hernia obturator
• Hernia spigelian
• Hernia lumbar
• Hernia gluteal
• Hernia skiatik
• Hernia perineal

2. Hernia internal
Jika isi hernia masuk ke dalam rongga lain, misalnya masuk ke cavum thorax, bursa omentalis, atau masuk ke dalam cavum abdomen

Pada cavum abdominal:
• Hernia epiploica winslowi
• Hernia bursa omentalis
• Hernia mesenterika
• Hernia retroperitonealis
Pada cavum thorax:
• Hernia diafragmatica traumatic
• Hernia diafragmatica non-traumatica

HERNIA INGUINALIS

Hernia inguinalis merupakan hernia yang paling sering terjadi. Jenis-jenis hernia inguinalis:
1. Hernia inguinalis indirek atau lateralis
2. Hernia inguinalis direk atau medialis
HERNIA INGUINALIS LATERALIS
Merupakan hernia yang memasuki kanalis inguinalis melalui cincin inguinal interna yang terletak lateral dari vasa epigastrika inferior dan berjalan sepanjang kanalis di depan korda.
Lapisan-lapisan hernia inguinal indirek/lateralis:
• Peritoneum
• Lemak ekstraperitoneal
• Fasia spermatika interna (berasal dari fasia transversalis pada cincin interna)
• Otot dan fasia kremaster (berasal dai m. obliqus interna dan m. transersum abdominis serta jaringan areolar antara kedua otot tersebut)
• Fasia spermatika eksterna
• Fasia superfisialis dan kulit

Patogenesis

Hernia indirek bersifat congenital dan disebabkan oleh kegagalan penutupan prosesus vaginalis ( kantong hernia) sewaktu turun ke dalam skrotum. Kantong yang dihasilkan bisa meluas sepanjang kanalis inguinalis; jika meluas kedalam skrotum maka disebut hernia lengkap. Karena processus vaginalis terletak didalam funikulus spermatikus, maka prosessus ini dikelilingi oleh muskulus kremater dan dibentuk oleh pleksus venosus pampiniformis, duktus spermatikus dan arteria spermatika. Lubang interna ke dalam kavitas peritonealis selalu lateral terhadap arteria epigastrica profunda dngan adanya hernia inguinalis indirek, sedangkan lubang interna medial terhadap pembuluh darah ini bila hernianya direk.
Kanalis inguinalais adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke 8 kehamilan, terjadi desenden testis melalui kanal tersebut. Penurunan testis tersebut akan menarik peritoneum ke daerah skrotu sehingga terjadi penonjolan peritoneum yeng disebut prosessus vaginalis peritonei.
Pada bayi yang sudah lahir, umumnya prosessus ini telah mengalami obliterasi sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut. Namun dalam beberapa hal, seringkali kanlalis ini tidak menutup. Karena testis kiri turun terlebih dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih sering terbuka. Bila kanalis kiri terbuka maka biasanya yang kanan juga terbuka. Dalam keadaan normal, kanalis yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan.

Bila prosessus terbuka terus (karena tidak mengalami obliterasi), akan timbul hernia inguinalis lateralis kongenital. Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup. Namun karena merupakan lokkus minoris resistensie, maka pada keadaan yang dapat menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat , kanal tersebut dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis akuisita.

Hernia inguinalis sering timbul pada pria dan lebih sering pada sisi kanan dibandingkan sisi kiri. Peningkatan tekanan intra abdomen akibat berbagai sebab, yang mencakup pengejanan yang mendadak, gerak badan yang terlalu aktif, obesitas, batuk menahun, asites, mengejan pada waktu buang air besar, kehamilan dan adanya massa abdomen yang besar, mempredisposisi pasienke perkembangan hernia. Peningkatan tekanan intra abdomen ini akan mendorong bagian dari usus dan lambung ke dalam kanalis ini, atau bahkan kedalam scrotum.

HERNIA INGUINALIS
(Ilmu Bedah – Handbook of Surgery)
DIAGNOSIS
1. Gejala-gejala
Hernia yang tak memperlihatkan gejala-gejala diketemukan pada waktu pemeriksaan rutin. Suatu penonjolan atau gumpalan pada skrotum, dan pada waktu batuk dan defekasi penonjolan semakin menonjol. Juga pada waktu menangkat sesuatu atau kegiatan fisik lainnya. Pada beberapa kasus tertentu massa menjulur sampai ke dalam skrotum, daerah pangkal paha terasa tidak enak, terutama kalau hernia membesar.
2. Tanda-tanda
a. Suatu masa di daerah pangkal paha, reponibel atau inkarserata, kadang-kadang sampai ke daerah skrotum. Pada bayi dan wanita adanya masa itu satu-satunya tanda yang ada. Hernia kecil yang tak memperlihatkan gejala tak akan terlihat dari luar.

b. Pada anak laki yang lebih besar dan pria, maka harus dilakukan penanganan sebagai berikut. Skrotum dimasuki jari telunjuk dan jari ditempatkan pada atau melalui annulus inguinalis eksterna. Instrusikan pada pasien untuk menekan (mengedan) seakan-akan hendak buang air besar. Ini akan meningkatkan tekanan intraabdominal. Kantung hernia merupakan suatu struktur bagaikan balon yang menekan jari secara langsung atau dari sisi lateral. Annulus eksterna yang membesar bukan hernia, meskipun kemungkinan hernia yang menyebabkan pembesaran itu dan hernia harus dicari dengan cermat kalau annulus cukup besar sehingga jari telunjuk dapat masuk. Hernia inguinalis paling mudah diperagakan kalau pasien berdiri tetapi periksalah pasien baik dalam posisi berdiri maupun dalam posisi telentang.

c. Indirek vs direk.
Hernia indirek merupakan suatu massa elips yang berjalan turun dan miring ke dalam kanal inguinalis. Mungkin akan masuk ke dalam skrotum. Massa ini menekan sisi lateral jari yang dipakai untuk memeriksa. Dengan menekan bagian atas annulus interna dengan satu tangan maka dapat dicegah jangan sampai hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis.
Hernia direk adalah suatu massa sferis, yang jarang turun sampai ke skrotum. Massa itu menekan jari yang memeriksa langsung dari sebelah depan. Dengan menekan annulus interna dengan tangan kita tak dapat mengurangi hernia tersebut.
HERNIA INGUINALIS
(Sabiston – Buku Ajar Bedah)
MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar hernia adalah asimtomatik, dan kebanyakan ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin dengan palpasti benjolan pada annulus inguinalis superfisialis atau suatu kantong setinggi annulus inguinalis profundus. Yang terakhir dubuat terasa lebih menonjol bila pasien batuk. Salah satu tanda pertama adalah adanya massa dalam daerah inguinalis manapun atau bagian atas skrotum. Dengan berlalunya waktu, sejumlah hernia turun ke dalam skrotum sehingga skrotum membesar. Pasien hernia sering mengeluh tidak nyaman dan pegal pada daerah ini, yang dapat dihilangkan dengan reposisi manual hernia ke dalam kavitas peritonealis. Tetapi dengan berdiri atau terutama dengan gerak badan, maka biasanya hernia muncul lagi.
PEMERIKSAAN FISIK
Daerah inguinalis pertama-tama diperiksa dengan inspeksi. Sering benjolan muncul dalam lipat paha dan terlihat cukup jelas. Kemudian jari telunjuk ditempatkan pada sisi lateral kulit skrotum dan dimasukkan sepanjang funikulus spermatikus sampai ujung jari tengah mencapai annulus inguinalis profundus. Suatu kantong yang diperjelas oleh batuk biasanya dapat diraba pada titik ini. Jika jari tangan tak dapat melewati annulus inguinalis profundus karena adanya massa, maka umumnya diindikasikan adanya hernia. Hernia juga diindikasikan, bila seseorang meraba jaringan yang bergerak turun ke dalam kanalis inguinalis sepanjang jari tangan pemeriksa selama batuk.
Walaupun terdapat tanda-tanda yang menunjukkan apakah hernia itu indirek atau direk, namun umumnya hanya sedikit kegunaannya, karena keduanya biasanya memerlukan penatalaksaan bedah, dan diagnosis anatomi yang tepat hanya dapat dibuat waktu operasi. Gambaran yang menyokong adanya hernia indirek mencakup turunnya ke dalam skrotum, yang sering ditemukan dalam hernia indirek , tetapi tak lazim dalam bentuk hernia direk. Hernia direk lebih cenderung timbul sebagai massa yang terletak pada annulus inguinalis superfisialis dan massa ini biasanya dapat direposisi ke dalam kavitas peritonealis, terutama jika pasien dalam posisi terbaring. Pada umumnya dengan jari tangan pemeriksa di dalam kanalis inguinalis, maka hernia inguinalis indirek maju menuruni kanalis pada samping jari tangan, sedangkan penonjolan yang langsung ke ujung jari tangan adalah khas dari hernia direk.
Diagnosis banding hernia inguinalis mencakup massa lain dalam lipat paha seperti limfadenopati, varikokel, testis yang tidak turun, lipoma, dan hematoma.

HERNIA
(Kapita Selekta Kedokteran)
MANIFESTASI KLINIS & PEMERIKSAAN FISIK
1. Hernia Inguinalis Lateralis (Indirek)
Umumnya pasien pengatakan turun berok, burut, atau kelingsir, atau mengatakan adanya benjolan di selangkangan/kemaluan. Benjolan tersebut bias mengecil atau menghilang pada waktu tidur, dan bila menangis, mengejan, atau mengangkat benda berat atau bila posisi pasien berdiri dapat timbul kembali. Bila telah terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri.
Keadaan umum pasien biasanya baik. Bila benjolan tidak nampak, pasien dapat disuruh mengejan dengan menutup mulut dalam keadaan berdiri. Bila ada hernia maka akan tampak benjolan. Bila memang sudah tampak benjolan, harus diperiksan apakah benjolan tersebut dapat dimasukkan kembali. Pasien diminta berbaring, bernapas dengan mulut untuk mengurangi tekanan intraabdominal, lalu skrotum diangkat perlahan-lahan. Diagnosis pasti hernia pada umumnya sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis yang teliti.
Keadaan cincin hernia juga perlu diperiksa. Melalui skrotum jari telunjuk dimasukkan ke atas lateral dari tuberkulum pubikum. Ikuti fasikulus spermatikus sampai ke annulus inguinalis internus. Pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk. Pasien diminta mengejan dan merasakan apakah ada massa yang menyentuh jari tangan. Bila massa tersebut menyentuh ujung jari maka itu adalah hernia inguinalis lateralis, sedangkan bila menyentuh sisi jari maka diagnosisnya adalah hernia inguinalis medialis.
2. Hernia Inguinalis Medialis (Direk)
Pada pasien terlihat adanya massa bundar pada annulus inguinalis eksterna yang mudah mengecil bila pasien tidur. Karena besarnya defek pada dinding posterior maka hernia ini jarang sekali menjadi irreponibilis.
Hernia ini disebut direkta karena langsung menuju annulus inguinalis eksterna sehingga meskipun annulus inguinalis interna ditekan bila pasien berdiri atau mengejan, tetap akan timbul benjolan. Bila hernia ini sampai ke skrotum, maka hanya akan sampai ke bagian atas skrotum, sedangkan testis dan funikulus spermatikus dapat dipisahkan dari massa hernia.
Bila jari dimasukkan dalam annulus inguinalis eksterna, tidak akan ditemukan dinding belakang. Bila pasien disuruh mengejan tidak akan terasa tekanan dan ujung jari dengan mudah dapat meraba ligamentum Cowperi pada ramus superior tulang pubis. Pada pasien kadang-kadang ditemukan gejala mudah kencing karena buli-buli ikut membentuk dinding medial hernia.
Pengelolaan hernia
• Memakai ikat pinggang khusus yang disebut truss (untuk menyokong hernia dan menjaganya dari menonjol)
• Menghindari aktivitas yang menyebabkan peregangan abdomen (abdominal strain)
• Herniorrhapy
Ada beberapa cara, yaitu
 Di bawah anestesi general, surgeon menarik kembali benjolan peritoneum melalui lobang kemudian menutup defek dengan melekatkan satu sama lain. Akan tetapi, ini menyebabkan pasien perlu istirahat untuk menahan dinding perut tertutup, ahli bedah harus menempatkan beberapa perlengketan, di bawah derajat regangan pada jaringan profunda, mengulang proses sampai dia nyaman menyambungkannya. Akan tetapi, pasien harus membatasi aktivitas fisik selama beberapa minggu.
 Menggunakan anestesi local, incisi kecil dibuat di atas tempat hernia. Penonjolan peritonel dikembalikan ke abdomen, tapi perbaikan dicapai dengan penempatan potongan ‘fine (inert and sterile) mesh’ pada pembukaan jaringan. Ini ditahan pada tempat dan incisi yang luar ditutup. Operasi memakan waktu beberapa menituntuk melakukan. Tehnik ini tidak membutuhkan perlekatan bersama jaringan otot, jadi mengeliminasi tegangan yang diinduksi oleh metode. Proses penyembuhan mulai langsung -(ditempatkannya fine mesh)- otot dan tendon mengirim jaringan fibrosa yang tumbuh sekelilingdan melalui mesh. Tehnik ini tidak perlu mondok, bahkan setelah operasi. Pasien mampu untuk berjalan langsung setelah operasi.

Graves Disease

GRAVES DISEASE

Latar belakang

Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830, adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisem (produksi berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goites adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda usia 20 –40 tahun terutama wanita, tetapi penyakit ini dapat terjadi pada segala umur . Kelenjar tiroid dalam keadaan normal tidak tampak, merupakan suatu kelanjar yang terletak di leher bagian depan, di bawah jakun. Kelenjar tiroid ini berfungsi untuk memproduksi hormon tiroid yang berfungsi untuk mengontrol metabolisme tubuh sehingga tercapai pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

Penyebab

Penyebabnya tidak diketahui. Karenai ini merupakan penyakit autoimun yaitu saat tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka penyakit ini dapat timbul tiba-tiba. Tidak diketahui mekanismenya secara pasti, kebanyakan dijumpai pada wanita. Reaksi silang tubuh terhadap penyakit virus mungkin merupakan salah satu penyebabnya ( mekanisme ini sama seperti postulat terjadinya diabetes mellitus tipe I).Obat-obatan tertentu yang digunakan untuk menekan produksi hormon kelenjar tiroid dan Kurang yodium dalam diet dan air minum yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama mungkin dapat menyebabkan penyakit ini. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui, tampaknya terdapat peran antibody terhadap reseptor TSH, yang menyebabkan peningkatan produksi tiroid. Penyakit ini ditandai dengan peninggian penyerapan yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid.

Patofisiologi

Graves disease merupakan salah satu contoh dari gangguan autoimun hipersensitif tipe II. Sebagian besar gambaran klinisnya disebabkan karena produksi autoantibodi yang berikatan dengan reseptor TSH, dimana tampak pada sel folikuler tiroid ( sel yang memproduksi tiroid). Antibodi mengaktifasi sel tiroid sama seperti TSH yang menyebabkan peningkatan produksi dari hormon tiroid. Opthalmopathy infiltrat ( gangguan mata karena tiroid) sering terjadi yang tampak pada ekspresi reseptor TSH pada jaringan retroorbital. Penyebab peningkatan produksi dari antibodi tidak diketahui. Infeksi virus mungkin merangsang antibodi, dimana bereaksi silang dengan reseptor TSH manusia. Ini tampak sebagai faktor predisposisi genetik dari Graves disease, sebagian besar orang lebih banyak terkena Graves disease dengan aktivitas antibodi dari reseptor TSH yang bersifat genetik.Yang berperan adalah HLA DR (terutama DR3).

Gambaran Klinis

Gejala dan tanda peningkatan metabolisme di segala sistem tubuh, mungkin terlihat jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kalori, karena itu masukkan kalori umumnya tidak mencukupi kebutuhan sehingga berat badan menurun. Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk peningkatan sirkulasi darah dengan penambahan curah jantung sampai 2-3 kali normal, juga dalam istirahat. Irama nadi naik dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulses seler dan penderita mengalami takikardi dan palpitasi. Beban miokard, dan rangsangan persarafannya dapat meningkatkan kekacauan irama jantung berupa fibrilasi atrium
Pada saluran cerna sekresi maupun peristalsis meningkat sehingga sering timbul diare. Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita bangun di waktu malam dan sering terganggu mimpi yang tidak karuan. Selain itu, penderita mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat mengganggu. Pada saluran nafas hipermetabolisme berupa dispnea dan takipnea yang tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot biasanya cukup mengganggu, demikian juga menoragia. Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun pada jaringan ikat di dalam rongga mata. Jaringan ikat dengan jaringan lemaknya menjadi hiperplasik sehingga bola mata terdorong keluar dan otot mata terjepit. Akibat terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan rusaknya bola mata akibat keratitis. Gangguan faal otot mata yang menyebabkan strabismus.

Diagnosis

Diagnosis dapat dibuat berdasarkan dari tanda dan gejala yang ada, dan dari hasil laboratorium berupa kadar dari hormon tiroid (tiroksin/ T4, triyodotironin/ T3) dan kadar dari tiroid stimulating hormone (TSH). Free T4 dan free T3 yang tinggi merupakan suatu petanda, sambil TSH memberikan negative feedback. Peningkatan ikatan protein iodium mungkin dapat terdeteksi. Struma yang besar kadang terlihat pada foto rontgen. Tiroid stimulating antibodi mungkin dapat terlihat pada pemeriksaan serologi.

Penatalaksanaan

Pengobatan terhadap Graves disease termasuk penggunaan obat-obat anti tiroid (OAT), yodium radioaktif dan tiroidektomi (eksisi pembedahan dari kelenjar tiroid). Pengobatan hipertiroid pada graves disease adalah dengan obat-obatan seperti methimazole atau propylthiouracil (PTU), yang akan menghambat produksi dari hormon tiroid, atau juga dengan yodium radioaktif . Pembedahan merupakan salah satu pilihan pengobatan, sebelum pembedahan pasien diobati dengan methimazole atau propylthiouracil (PTU). Beberapa ahli memberikan terapi kombinasi tiroksin dengan OAT dosis tinggi untuk menghambat produksi hormon tiroid namun pasien tetap dipertahankan eutiroid dengan pemberian tiroksin. Penambahan tiroksin selama terapi dengan OAT juga akan menurunkan produksi antibodi terhadap reseptor TSH dan frekuensi kambuhnya hipertiroid.
Pengobatan dengan iodium radioaktif diindikasikan pada : pasien umur 35 tahun atau lebih, hipertiroid yang kambuh setelah dioperasi, gagal mencapai remisi sesudah pemberian OAT, tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan OAT dan pada adenoma toksik, goiter multinodular toksik. Digunakan I131 dengan dosis 5-12mCi per oral.

Tiroidektomi subtotal sangat efektif untuk menanggulangi hipertiroid. Indikasi operasi adalah :
1. Pasien umur muda dengan struma yang besar serta tidak mempan dengan OAT
2. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan OAT dosis tinggi.
3. Alergi terhadap OAT, pasien tidak bisa menerima iodium radioaktif.
4. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
5. Pada penyakit grave yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996. Hal 932 – 4.
2. Noer S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. FKUI, Jakarta, 1996. Hal 766 – 72
3. Leksana, Mirzanie H. Chirurgica. Tosca Enterprise. Yogyakarta, 2005. Hal VIII.1 – 5
4. http://www.eMedicine.com
5. http://www.wikepedia.com
6. http://www.konsultasigizi.com
7. http://www.GraveDisease.com

Otitis Media

Tuba Eustachius terdiri dari tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan sepertiga sisanya terdiri dari tulang. Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada asaat mengunyah, menelan, dan menguap.

Etiologi

Keadaan yang menyebabkan disfungsi tuba Eustachius atau tuba katar antara lain adalah tuba terbuka abnormal, myoklonus palatal, palatoskisis, dan obstruksi tuba.

Obstruksi tuba umumnya terjadi karena otitis media, baik dalam bentuk barotrauma, otitis media supuratif, maupun otitis media non supuratif. Salah satu bentuk otitis media non-supuratif adalah otitis media serosa. Keadaan ini sering ditemukan pada rhinitis alergika dan pada orang yang sering pilek.

Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Keadaan akut ini dapat disebabkan antara lain oleh:
1) sumbatan tuba, di mana terbentuk cairan di telinga tengah
2) virus, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan ISPA
3) alergi, berhubungan dengan alergi pada saluran pernafasan atas
4) idiopatik

Gejala dan tanda yang didapatkan dari pasien yang mengalami OMS yang terutama adalah telinga terasa penuh dan ada kongesti. Pada saat pasien membuang ingus keras-keras, dapat merasakan suara seperti gelembung-gelembung yang pecah.

Selain itu pasien juga dapat mengeluh rasa terseumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda pada telinga yang sakit (diplacusis binauralis). Kadang-kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga pada saat posisi kepala berubah. Rasa sedikit nyeri dapat terjadi pada awal tuba terganggu, karena tekanan negatif ada telinga tengah (misalnya barotrauma), tetapi setelah sekret terbentuk tekanan negatif ini pelan-pelan hilang. Rasa nyeri tidak pernah ada bila penyebab timbulnya sekret adalah virus atau alergi. Tinnitus, vertigo, atau pusing kadang2 ada dalam bentuk ringan.

Tinnitus, atau suara telinga berdenging, berdengung, atau berdenting adalah suatu gejala yang sangat subjektif pada pasien. Kadang-kadang hanya menjadi sumber gangguan kecil bagi pasien, tetapi pada yang lainnya dapat mengganggu aktifitas. Etiologi dari tinnitus dapat berupa cerumen prop, otosklerosis, otitis media, atau keadaan ototoksik.

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan retraksi dari membran timpani. Motilitas membran timpani juga berkurang. Kadang-kadang pada pemeriksaan dengan otoskop, terlihat tampilan garis batas air atau gelembung udara di sebelah medial membran.

Untuk pasien-pasien dengan gangguan fungsi tuba, dapat disuruh untuk melakukan perasat Valsalva. Perasat ini dilakukan dengan cara menutup kedua hidung, lalu meniup keras-keras dengan mulut tertutup. Apabila patensi kedua tuba bagus, maka dengan perasat Valsalva akan terbuka (kadang-kadang disertai dengan bunyi “pop”). Pasien yang OMS-nya telah disertai dengan gangguan tuba apabila melakukan perasat ini tidak dapat mendengar atau merasakan bunyi terbukanya tuba. Biasanya patensi tuba terganggu atau tuba tersebut tersumbat di sekitar 2/3 pars kartilagineus medial.

Tes Pendengaran Dengan Garputala
• Tes Rinne – Membandingkan antara konduksi tulang dengan konduksi udara. Garputala yang bervibrasi dipegang dengan gagangnya pada prosessus mastoideus telinga sampai suaranya menghilang menurut pendengaran pasien. Lalu langsung dipegang dekat dengan meatus auditorius eksternus tanpa menyentuhnya. Apabila pasien masih dapat mendengar suara garputala tersebut, berarti konduksi udara melebihi konduksi tulang. Ini adalah hasil tes yang normal atau (+)
• Tes Weber – Mencari apakah ada ketulian unilateral. Garputala yang bervibrasi diletakkan pada garis tengah kepala (di tengah2 dahi). Pada seseorang yang fungsi pendengarannya normal, maka suara tersebut akan didengar sama keras pada kedua telinga. Pada seseorang dengan conductive hearing loss unilateral, suara garputala akan terdengar lebih keras pada sisi yang sakit. Pada seseorang dengan sensorineural hearing loss unilateral, suara garputala akan terdengar lebih keras pada sisi yang sehat.
• Tes Schwabach – Sama seperti dengan tes Rinne, hanya diulang dan dibandingkan dengan pemeriksa.

Pada pasien dengan otitis media serosa akut pengobatan dapat secara medikamentosa maupun pembedahan. Pada pengobatan medikal diberikan obat vasokonstriktor lokal (tets hidung), antihistamin, serta perasat Valsava, bila tidak ada tanda-tanda infeksi di jalan napas atas. Setelah satu-dua minggu, bila gejala-gejala masih menetap, dilakukan miringtomi (insisi pada pars tensa membarn timpani agar terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke telinga luar).

Penyakit Jantung Kongenital

Penyakit Jantung Kongenital
Translated by Dr. Mohd Syis Zulkipli

Kelainan kongenital pada jantung dan sistem kardiovaskular terjadi pada 7 hingga 10 bagi tiap 100 kelahiran (0.7% ke 1.0%)1. Penyakit jantung kongenital adalah jenis yang paling sering ditemukan didalam penyakit kongenital dimana mencakupi sekitar 30% dari total insiden penyakit kongenital. Dengan penurunan dalam penyakit jantung rematik, penyakit jantung kongenital telah menjadi penyebab utama sakit jantung pada 10% sampai 15% kanak-kanak yang menderita anomaly kongenital pada tulang, genitourinary, atau system gastrointestinal. Sembilan lesi penyakit jantung kongenital merangkumi lebih dari 80% dari penyakit kongenital jantung, dengan lesi kompleks yang jarang (Tabel 3-1).1 Populasi orang dewasa dengan penyakit jantung kongenital, baik sudah di operasi maupun belum, dianggarkan sekitar 1 juta orang di amerika syarikat. Sebagai hasil, adalah jarang untuk pasien dewasa dengan penyakit kongenital jantung untuk mendapatkan operasi noncardiac.3
Echokardigrafi transthoracic dan transesophageal telah membantu secara akurat dalam diagnose penyakit jantung kongenital. Fetal cardiac ultrasonography telah membolehkan diagnose awal kelainan jantung kongenital, membolehklan managemen perinatal berikutnya di pusat penjagaan tertiary yang terpadu. Pilihan untuk foto seperti magnetic resonan jantung dan echocardiography 3D telah meningkatkan pemahaman tentang malformasi kardio yang kompleks dan membolehkan visualisasi aliran darah dan struktur vascular.4 kateterisasi kardio dan angiokardiografi selectif adalah teknik dignostik definitive yang bias digunakan pada pasien dengan penyakit jantung kongenital.
Kemajuan dalam biologi molecular telah memberikan fahaman baru dalam basis genetic penyakit jantung kongeniotal.4 kelainan kromosom dikaitkan dengan anggaran 10% dari lesi kardiovaskuler kongenital. Dua per tiga dari lesi ini terjadi pada pasien dengan trisomy 21; satu per tiga yang laindijumpai pada pasien dengan kelainan karyotipik seperti trisomi 13 dan trisomi 18 dan pada pasien dengan sindroma Turner. Selebihnya 90% dari lesi kardiovaskuler kongenital di perkirankan multifaktorial hasil dari interaksi beberapa gen dengan atau tanpa penyebab eksternal(rubella, penggunaan ethanol, lithium, diabetes maternal). Penggunaan akronim CATCH-22 (cardiac defects, abnormal facies, thymic hypoplasia, cleft plate, hypocalcemia) dikaitkan dengan penyakit jantung kongenital yang diakibatkan oleh kelainan pada kromosom 22. Peningkatan insiden penyakit jantung kongenital pada aanak dari orangtua yang terlibat menunjukan kesan dari “single gene defect” pada penyakit jantung kongenital terisolasi.
Tanda dan symptom penyakit jantung kongenital pada bayi dan kanak-kanak sering meliputi dispnea, keterlambatan perkembangan, dan murmur jantung (Table 3-2). Diagnosis penyakit jantung kongenital boleh didapatkan pada seawal minggu pertama kehidupan pada 50% neonates yang terkait dan sebelum 5 tahun bagi pasien selebihnya. Echocardiografi adalah tahap diagnostik pertama jika terdapat suspek penyakit kongenital jantung. Beberapa komplikasi yang dapat menyertai penyakit jantung kongenital dapat dilihat pada table 3-3. Sebagai contoh, endokarditis infektif terkait dengan resiko pada kebanyakan penyakit jantung kongenital. Disritmia jantung jarang ditemukan pada penyakit jantung kongenital. Kematian mengejut secara kadang berlaku pada pasien yang melalui koreksi pembedahan penyakit jantung kongenital akibat dari sccaring miokardial ataupun kerusakan pada sistem konduksi jantung.
Penyakit Jantung Asianotik
Penyakit jantung kongenital asianotik dikarakteristikan dengan “left-to-right intracardiac shunting” (Table 3-4). Kesan utama dari “shunt” intrakardio ini selain lokasinya adalah peningkatan aliran darah ke paru dengan hipertensi pulmo, hipertrofi ventrikel kanan dan gagal jantung kongestif. Semakin muda pasien pada saat operasi semakin besar peluang resisten vascular pulmo akan kembali normal. Pada pasien yang lebih tua, jika resisten vascular pulma menjadi satu per tiga atau kurang dari resisten vaskuler sistemik, penyakit vascular pulmo progresif setelah koreksi pembedahan adalah tidak memungkinkan. Onset dan keparahan simptom klinis berbeda dari segi tapak dan magnitude dari “shunt” vaskuler.
Atrial Septal Defect
ASD diperkirakan lebih kurang sepertiga dari penyakit jantung kongenital yang ditemukan pada orang dewasa, dimana dua per tiga ditemukan pada wanita berbanding laki-laki.2 secara anatomis, ASD boleh menyerupai bentuk osteum secundum pada region fossa ovalis (sering terletak berhampiran pusat septum interatrial dan berbeza dari pembukaan tunggal kepada septum), ostium primum (kelainan bantalan endokardial yang ditandai oleh pembukaan yang besar pada septum) , atau sinus venosus yang terletak diatas septum atrial. (Fig. 3-1) ASD scundum diperkirakan sekitar 75% dari semua ASD. Kelainan tambahan pada jantung mungkin terjadi pada setiap tipe defek dan termasuk prolaps katup mitral(ostium scundum) dan mitral regurgitasi akibat dari “cleft” pada daun katup injap mitral anrterior(ostium primum).
Kebanyakan ASD terjadi akibat dari mutasi genetic spontan. Secara fisiologis, akibat dari ASD adalah sama dari segi posisi anatomis dan penyimpangan darah dari satu atrium ke atrium yang lain; arah dan magnitude penyimpangan ditentukan dari ukuran kelainan dan “compliance” relative ventrikel. Defek yang kecil (diameter kurang dari 0.5 cm)adalah dikaitkan dengan penyimpangan kecil dan tiada squelae hemodinamik. Apabila diameter ASD menghampiri 2 cm, adalah memungkinkan untuk darah dari atrial kiri disimpangkan ke atrium kanan (ventrikel kanan lebih kompliant dari ventrikel kiri) mengakibatkan peningkatan aliran darah paru.
Murmur ejeksi sistolik yang kedengaran pada ruang intercostal kedua kiri bisa disalah artikan dari “innocent flow murmur”. Electrocardiogram akan menunjukkan deviasi axis kanan dan RBB inkomplit. Fibrilasi atrialdan supraventrikular takikardi dapat menyertai ASD yang tidak dikoreksi sehingga umur dewasa. Radiografi dada lebih memungkinkan untuk memastikan ateri pulmonary prominen. Echocardiografi transesophageal dan Doppler color flow echocardiography juga berguna dalam mendeteksi dan menentukan letak ASD.
Tanda dan Gejala
Kerana pada awalna tidak ditemukan simptom yang jelas pada pemeriksaan fisik, ASD bisa sulit diditeksi sehingga bertahun-tahun. Kelainan yang kecil dengan penyimpangan yang minimal (ratio aliran pulmo ke systemic kurang dari 1.5) biasanya tidak menunjukkan simptom dan tidak memerlukan penutupan. Bila aliran darah pulmo 1.5 kali lebih dari aliran sistemik, ASD perlu ditutup secara pembedahan untuk mengelakkan dari terjadinya disfungsi vemtikel kanan dan hipertensi pulmo irreversible. Simptom dari ASD yang besar meliputi dyspnea dengan eksersi, disritmia supraventrikular, gagal jantung kanan, emboli paradosikal, dan infeksi pulmo berulang. Agen profilaksis terhadap endokarditis infektif adalah tidak disarankan pada pasien dengan ASD melainkan terdapat kelainan valvular(mitral valve prolaps atau mitral valve cleft).
Managemen Anestesi
ASD yang terkait dengan penyimpangan intrakardia kiri ke kanan mempunyai implikasi kecil terhadap managemen anestesi. Sebagai contoh, selagi aliran darah sistemik normal, pharmakokinetik obat inhalasi tidak terpengaruh secara signifikan walaupun dengan kenaikan aliran pulmo. Sebaliknya, peningkatan aliran darah paru boleh mendilusikan obat yang diinjeksi secara intravena. Dilusi ini berpotensi; walaupun tidak sering; mengubah respon klinikal terhadap obat-obat tersebut kerana sirkulasi pulmo adalah singkat. Kesan lain dari peningkatan aliran pulmonary adalah ventilasi positive-pressure pada paru ditoleransi dengan baik.
Sebarang perubahan pada resisten vaskular sistemik sewaktu periode perioperatif bias mempunyai implikasi yang penting pada pasien dengan ASD. Sebagai contoh, obat atau event yang menghasilkan pemanjangan dalam peningkatan resisten vaskular sistemik harus dihindari, kerana perubahan ini akan mengakibatkan peningkatan dalam magnitude penyimpangan kiri ke kanan pada batas atrium. Ini adalah benar dengan defek ASD primum yang dikaitkan dengan regurgitasi mitral. Penurunan pada resisten vaskuler sistemik yang dihasilkan oleh anestesi volatile atau peningkatan resisten vascular pulmonary akibat dari paru dengan ventilasi tekanan positif, lebih cenderung menurunkan magnitude penyimpangan kiri ke kanan.
Konsiderasi yang lain untuk managemen anestesi dengan ASD adalah keperluan untuk menyediakan antibiotic profilaksis untuk memproteksi terhadap endokarditis infentik apabila katup jantung mempunyai kelainan. Tembahan, pengelakkan kemasukan udara kedalam sirkulasi, yang bias terjadi melalui tube yang digunakan untuk cairan intravena, adalah perlu. Dysritmia supraventrikular transien dan defek konduksi atrioventrikular adalah sering saat awal postoperasi setelah reparasi bedah ASD.

Ventricle Septal Defect
VSD adalah tipe yang paling sering ditemukan dalam kelainan kongenital jantung pada anak-anak dan bayi(Fig. 3-2). Sebagian besar VSD tertutup secara spontan apabila anak mencapai umur 2 tahun. Secara anatomis hamper 70% defek ini terletak pada bahagian membranous di septum intraventrikular, 20% di bahagian otot pada septum, 5% dibawah katup aorta yang mengakibatkan regurgitasi aorta dan % berhampiran simpang diantara mitral dan tricuspid(defek canalis artrioventricular).
Echokardiografi dengan Doppler flow mengkonfirmasi keadaan dan lokasi VSD dan color flow mapping memberikan informasi tentang magnitude dan arah penyimpangan intracardiac. Kateterisasi jantung dan angiografi mengkonfirmasikan keadaan dan lokasi VSD dan menentukan magnitude penyimpangan intracardiac dan resisten vascular pulmo.
Tanda dan Gejala
Kesan signifikan fisiologi VSD tergantung kepada ukuran defek dan resisten relative dalam sirkulasi sistemik dan pulmonary. Jika defek kecil, ganguan fungsional yang minimal akan berlaku kerana aliran darah pulmo meningkat sedikit. Jika defeknya besar, tekanan sistolic ventrikular akan menyamakan dan magnitud sirkulasi sistemik dan paru ditentukan oleh resisten relatif vaskular diantara dua sirkulasi ini. Secara inisial, resisten vaskuler sistemik melampaui resisten vaskuler dan penyimpangan kiri ke kanan intracardiac mendominasi. Mengikut waktu, resisten vaskuler pulmo meningkat dan magnitude penyimpangan kiri ke kanan intracardial berkurang walaupun penyimpangan boleh menjadi kanan ke kiri dengan diikuti hypoxemia arterial (sianosis).
Murmur pada VSD sedang adala holo-sistolik dan paling kuat kedengaran pada bahagian bawah kiri batas sternum. ECG dan foto dada tetap normal pada VSD yang kecil. Bila VSD menjadi besar didapatkan bukti pembesaran atrium kiri dan ventrikel pada ECG. Jika hipertensi pulmonary tejadi, axis QRS berpindah ke kanan dan atrium kanan dan ventrikuler membesar ditemukan pada ECG.
Natural history VSD tergantung pada ukuran defek dan resisten vaskuler pulmonary. Pada orang dewasa dengan defek yang kecil dan dengan tekanan arteri pulmonary normal adalah asymptomatik, dan hipertensi pulmonary sangat tidak mungkin berlaku. Pasien ini terdedah pada resiko dalam membentuk endocarditis infektif tetapi tidak memerlukan koreksi pembedahan VSD. Tanpa koreksi pembedahan pada VSD besar, akan mengakibatkan gagal ventrikular kiri atau hipertensi pulmonari dengan gagal ventrikular kanan. Pembedahan penutupan VSD direkomendasikan pada pasien ini, jika magnitude hipertensi pulmoner tidak bisa disekat. Apabila rasio resisten vaskuler sistemik ataupun pulmonari melebihi 0.7, resiko untuk pembedahan penutupan adalah mampu dilarang.
Managemen Anestesi
Profilaksis antibiotic untuk melindungi infeksi endokarditis adalah diindikasikan apabila operasi non kardio direncanakan pada pasien dengan VSD. Farmakokinetik obat-obatan inhalasi dan injeksi adalah tidak diubah secara signifikan oleh VSD. Dengan VSD, peningkatan akut dan persisten dalam resisten vaskuler sistemik atau penurunan resisten vaskuler pulmo adalah tidak diinginkan kerana perubahan ini mampu meningkatkan magnitude penyimpangan intracardiac kiri ke kanan pada level ventricular. Dalam keadaan ini,anestesi volatile (yang mana menurunkan resisten vaskuler sistemik) dan ventilasi tekanan positif pada paru pasien (dimana peningkatan resisten vaskuler pulmonal terjadi) adalah ditoleransi. Walaubagaimana pun,. Akan bisa terjadi peningkatan penghantaran obat depressan ke jantung jika aliran darah koronari meningkat untuk mensuplaiventrikel yang hipertofi. Peningkatan konsentrrasi inspirasi anestesi volatile untuk mencapoai induksi cepat anestesi sepertimana sering dilakukan pada anak-anak bisa mengakibatkan depressi berlebihan pada jantung sebelum depresi CNS dicapai.
Hipertofi infundibulum ventrikel kanan dapat muncul pada pasien dengan VSD.secara normal, perubahan ini meningkatkan resisten ejeksi ventricular kanan mengarahkan kepenurunan dalam magnitude penyimpangan kiri ke kanan. Kegiatak perioperasi yang menginduksi obstruksi aliran keluar ventricular kanan seperti peningkatan kontraksi otot jantung ataupun hypovolaemia mesti dikurangkan. Dengan itu pasien ini sering dianestesidengan anestesi volatile. Sebagai tambahan, cairan intravaskuler harus di kawal dengan menggantikan darah yang keluar.
Anestesi untuk penggantian pulmonary artery band sering dilakukan dengan obat yang menghasilkan depresi jantung yang minimal. Relaksan otot digunakan mencegah pergerakan pasien. Jika bradikardia atao hipotensi sistemik terjadi semasa pembedahan, adalah memungkinkan untuk mengeluarkan pulmonary artery band secepatnya. Monitoring berterusan tekana darah sistemik dengan intra-atrial kateter sangat membantu. Administrasi positif end-expiratory pressure mungkin membantu dalam keadaan gagal jantung kongestif harus dihentikan apabila pulmonary artery band sudah ditempat. Kadar mortality yang tinggi berkait dengan pulmonary artery banding telah menyebabkan percobaan koreksi pembedahan bypass kardiopulmonari dilakukan pada usia awal. Blok derajat 3 arterioventrikular jantung diikuti pembedahan penutupan jika system konduksi jantung menghampiri VSD. Detak ventrikuler premature menunjukkan ketidak stabilan ventrikel akibat dari pembedahan ventrikulectomi, adalah rendah jika tekanan pengisian ventricular post operasi adalah rendah.
Patent Duktus Arteriosus
PDA muncula apabila duktus arteriosus (yang mana keluar dari arah distal ke kiri arteri subklavian dan menghubung aorta desenden ke artery pulmonary) gagal untuk menutup secara spontan setelah kelahiran.(Fig. 3-3). Dalam fetus, duktus arteriosus membolehkan darah arteri pulmonary untuk melalui paru yang belum mengembang dan masuk ke aorta decenden untuk okisgenasi dalam plasenta. Dalam bayi lahir cukup bulan, duktus arteriosus menutup dalam 24 – 48 jam setelah kelahiran, tapi pada bayi kurang bulan, duktus srteriosus gagal menutup. Apabila duktus arteriosus gagal menutup secara spontan setelah kelahiran akan mengakibatkan aliran berterusan darah dari aorta ke arteri pulmonary. Ratio aliran pulmonary/sitemik bergantung kepada tekanan dari aorta ke artery pulmonary, rasio resistenn pulmonary/sistemik dan diameter dan panjang duktus arteriosus. PDA biasanya boleh diliat padaekhokardiografi, dengan Doppler untuk mengkonfirmasikan aliran berterusan kedalam sirkulasi pulmonal. Kateterisasi jantung dan angiografi memungkinkan untuk mengukur magnitude penyimpangan dan resisten vaskuler pulmonary dan untuk melihat PDA.
Tanda dan Gejala
Rata-rata pasien dengan PDA adalah asimptomatik dan hanya sedikit dengan penyimpangan kiri ke kanan. Kelainan jantung ini sering diditeksi sewaktu pemeriksaan fisik rutin dimana karekteristik murmur sistolik dan diastolic berterusan kedengaran. Jika penyimpangan kiri ke kanan adalah besar, akan ada bukti vipertrofi ventrikel kiri pada ECG dan radiograf dada. Jika hipertensi pulmonal terjadi, ventricular kanan akan membesar. Kewujudan PDA meningkatkan resiko endokarditis infeksi. Ligasi pembedahan PDA berkaitan dengan kadar kematian yang rendah dan tidak memungkinkan untuk memerlukan bypass cardiopulmonary. Tanpa penutupan, kebanyakan pasien tetap asimptomatik sehingga dewasa apabila hipertensi pulmonal dan gagal jantung kongestif terjadi. Apabila hipertensi pulmonary berat berlaku, penutupan adalah dikontraindikasikan.
Pengobatan
Dianggarkan 70% bayi preterm yang dilahirkan kurang dari 28 minggu memerlukan penutupan PDA. Ligasi PDA boleh dilakukan dalam NICU dengan kadar kematian yang rendah. Resiko pembedahan adalah signifikan dan termasuk perdarahan intracranial, infeksi, dan paralisis nervus laring berulang terutama pada bayi kurang dari 28 minggu. Inhibisi prostaglandin dengan COX-1 dan COX-2 didapatkan efektif sebagai alternative penutupan PDA pada noenatus. Indomethasin, inhibitor siklooksigenase non selektif yang digunakan untuk ini telah menggantikan pembedahan sebagai terapi utama untuk PDA. Kesan samping indomethasin meliputi penurunan aliran darah mesenteric,renal dan cerebral. Ibuprofen merupakan inhibitor siklooksigenase nonselektif yang digunakan secara efektif untuk merawat PDA dan mempunyai efek yang rendah pada aliran darah organ berbanding indomethasin.
Manajemen Anestesi
Profilaksis antibiotic untuk proteksi terhadap endocarditis infeksi adalah disarankan pada pasien dengan PDA yang direncanakan untuk operasi nonkardio. Apabila pembedahan penutupan PDA dirancang melalui torakotomi kiri, persiapan sepatutnya harus diambil dalam mengantisipasi kemungkinan kehilangan darah yang luas mampu mengawal kehilangan PDA sewaktu percobaan ligasi. Anestesi dengan agen volatile adalah berguna kerana obat ini merendahkan tekanan aliran sistemik justeru mengurangkan kesulitan keluar PDA dari klem vaskuler. Penurunan resisten vaskuler sistemik yang dihasilkan oleh anestesi volatile mampe memperbaiki aliran darah sistemik dengan menurunkan magnitude penyimpangan kiri ke kanan. Ventilasi tekanan positif pada paru pasien ditoleransi dengan baik dimana peningkatan tekanan udara meningkatkan resistan vaskuler pulmonal selanjutnya menurunkan gradient tekanan terhadap PDA. Sebaliknya, peningkatan resisten sistemik vaskuler atau penurunan resisten vaskular pulmonal harus dielakkan kerana perubahan ini meningkatkan magnitude penyimpangan kiri ke kanan. Monitoring berterusan tekanan darah sistemik dengan kateter yang dipasang pada arteri perifer sangat membantu dalam operasi.
Ligasi PDA sering kali dikaitkan dengan hipertensi sistemik signifikan semasa postoperasi. Hipertensi ini boleh diatasi dengan infuse berterusan obat vasodilator seperti nitropruside. Obat antihipertensi long acting boleh digunakan sebagai ganti nitropruside jika hipertensi sitemiok berterusan.
Penyakit Jantung Kongenital Sianotik
Penyakit jantung sianotik ditunjukkan dengan wujudnya penyimpangan intracardial kanan ke kiri dengan penurunan aliran darah pulmonary dan pembentukan hypoxemia arterial.(Table 3-5). Magnitud penyimpangan menentukan keparahan hypoxemia arterial. Erithrositosis skunder dari hypoxemia arteri kronis meningkatkan resiko thromboembolisma terutama apabila hematokrit mencapai 70%. Pasien dengan erithrositosis sekunder mampu mengalami kecacatan dalam koagulasi yang diakibatkan kekurangan vit-K dependent clotting factor dalam liver dan agregasi platelet yang rusak. Perkembangan absess otak adalah resiko utama dalam pasien dengan penyakit jantung congenital sianotik. Onset absess otak sering menyerupai trok. Survival dalam kewujudan penyimpangan kanan ke kiri memerlukan komunikasi diantara kedua sirkulasi sistemik dan pulmonal. TOF adalah prototip kelainan ini. Kebanyakan anak-anak dengan kelainan jantung sianotik tidak berjaya hidup sehingga dewasa tanpa pembedahan. Prinsip managemen anestesi adalah sama bagi semua kelainan jantung congenital sianotik.
Tetralogi of Fallot
Adalah defek jantung yang paling sering ditemukan, disertai oleh VSD, overriding aorta, hipertofi ventrikel kiri dan obstruksi outflow ventricular kanan.(subvalvular, valvular, supravalvular, cabang arteri pulmonary) dan hipertrofi ventricular kanan. Sebagian kelainan bisa terjadi akibat dari TOF termasuk ASD, right aortic arch, dan kelainan arteri koronari. Hipertrofi ventricular kanan terjadi kerana VSD membolehkan eksposur berterusan ventrikel kanan kepada tekanan tinggi yang ada pada ventrikel kiri. Penyimpangan kanan ke kiri terjadi kerana oeningkatan resisten aliran ke dalam jalur outflow ventrikulaer kanan, keparahan menetukan magnitude penyimpangan. Kerana resisten untuk aliran ke ventrikel kanan diperbaiki, perubahan resisten vaskuler sistemik mungkin mempengaruhi magnitud penyimpangan. Penurunan resisten vaskuler sistemik meningkatkan penyimpangan kanan ke kiri dan memungkinkan terjadi hipoxemi arterial, dimana peningkatan resisten vaskuler sistemik menurunkan penyimpangan kiri ke kanan yang mengakibatkan peningkatan aliran darah pulmonary.
Diagnosis
Echocardiografi digunakan untuk menentukan diagnose dan menentukan kewujudan kelainan yang berkaitan, level dan keparahan obstruksi aliran ventrikuler kanan, ukuran arteri pulmonary dan cabangnya, dan bilangan dan lokasi VSD. Penyimpangan kanan ke kiri melalui VSD dapat dilihat dari color Doppler, dan keparahan sumbatan aliran ventrikuler kanan dapat ditentukan dengan ukuran spectral Doppler. Kateterisasi jantung mengkonfirmasikan diagnose dan membolehkan konformasi data anatomic dan hemodinamik, termasuk lokasi dan magnitude penyimpangan kanan ke kiri, level dan keparahan obstruksi aliran keluar ventricular kanan, fitur anatomic obstruksi aliran keluar ventricular kanan dab arteri pulmonary dancabangnya, dan asal dan perjalanan arteri koronari. MRI juga mampu menghasilkan informasi ini.
Tanda dan Simptom
Kebanyakan pasien dengan tetralogi of fallot mempunyai sianosis dari saat lahir atau bermula pada tahun pertama kelahiran. Penemuan askultasi didapatkan ejeksi murmur yang kedengaran sepanjang border sterna kiri yang dihasilkan dari aliran darah melalui katup pulmonic yang stenosis. CHF jarang terbentuk kerana VSD besar membolehkan keseimbangan tekanan intraventrikular dan kerja jantung. Radiografi dada menunjukkan tanda penurunan vaskularisasi paru dan jantung berbentuk seperti sepatu dengan apex terbalik ke arah atas dan segmen arteri pulmo berbentuk concave. ECG menunjukkan perubahan dalam deviasi axis kanan dan hipertrofi ventrikuler kanan. Desaturasi oksigen arterial muncul walau dalam 100% oksigen(PaO2 sering kurang dari 50 mmHg). Eritropoeisis kompensasi adalah proposional kepada magnitude hypoxemia arterial. PACO2 dan pH arterial seringkali normal. Menjongkok adalah posisi yang paling sering didapatkan pada anak dengan TOF. Ini adalah kerana dengan menjongkok meningkatkan resisten vaskular sistemik dengan cara menekan arteri di kawasan inguinal. Ini menyebabkan peningkatan resisten vaskular sistemik dan menurunkan magnitude penyimpanga kanan ke kiri yang mana mengarahkan ke peningkatan aliran darah pulmonary dan perbaikan oksigenasi.
Serangan Hipersianotik.
Serangan hipersianotik dikarakteristikkan dengan serangan mendadak hypoxemia arteri yang berkaitan dengan pemburukan sianosis, tachypnea, dan kehilangan kesadaran, kejang, cerebrovaskular accdint, dan kematian. Serangan ini boleh terjadi dengan provokasi tapi sering dikaitkan dengan menangis dan olahraga. Mekanismenya tidak diketahui tapi yang paling hampir adalah kerana penurunan mendadak aliran darah pulmonary akibat dari spasme infundibular cardiac muscle atau penurunan resisten vaskular sistemik.
Pegobatan serangan hypersianotik dipengaruhi oleh obstruksi aliran pulmonary. Apabila simptom menunjukkan obstruksi infudibular dinamik(spasme), pengobatan yang sesuai adalah pemberian β-adregenic antagonist seperti esmolol atau propanolol. Terapi kronis propanolol oral adalah indikasi pada pasien dengan serangan berulang akibat spasme otot saluran keluar. Jika penyebabnya adalah penurunan resisten vaskuler sistemik, pengobatan dengan pemberian secara I.V cairan dan phenylephrine. Obat simpatomimetik yang menunjukkan preperti β-agonist adalah tidak dipilih, kerana obat ini mampu memicu spasme otot infundibular jantung. Serangan hipersianotik berulang mengindikasikan keperluan untuk koreksi pembedahan kelainan yang berkait dengan TOF.
Serangan ini tidak berlaku pada orang dewasa. Dewasa dengan TOF menunjukkan dyspnea dan toleransi olahraga yang sebentar. Mereka juga sering melaporkan keluhan sianosis kronis termasuk erythrocytosis, hiperviskositi, kelainan hemostasis, abcess cerebral atau strok, dan endokarditis infektif.
Cerebrovaskular Accident
Cerebrovaskular accident adalah sering ditemukan pada anak dengan TOF parah. Thrombosis serebrovaskuler arau hypoxemia arterial teruk bisa menjadi penyebab tentang respon tersebut. Dehidrasi dan polysitemia bisa mengkontribusai kepada thrombosis. Konsentrasi hemoglobin melebihi 20g/dl adalah sering pada pasien ini.
Absess Serebral
Absess serebral dicadangkan dengan onset cepat nyeri kepala, demam, lethargi yang diikuti emesis persisten dan kemuncula aktiviti kejang. Penyebab paling mungkin adalah seeding arterial kedalam kawasan infark cerebri.
Endokarditis Infektif
Endokarditis infektif adalah bahaya yang constant dalam pasien dengan TOF dan dikaitkan dengan kadar kematian yang tinggi. Pemberian antibiotic perlu untuk memproteksi terhadap kemungkinan apabila prosedur dental atau pembedahan dirancang.
Pengobatan
Pengobatan TOF adalah pembedah komplit (penutupan VSD denga Dacron patch dan pembenaran obstruksi aliran ventricular kanan dengan graf sintetik) apabila pasien sangat muda. Tanpa pembedahan, kadar kematian mengingkat 50% pada umu 3 tahun. Regurgitasi pulmonal akibat dari inkompeten katup pulmonal sering disebabkan olehkoreksi pembedahan dari kecacatan jantung dari TOF tetapi tidak memiliki bahaya besar melainkan arteri pulmonary distal telah hipoplastik, dimana pada keadaan ini overload volume ventrikel kanan sekunder dari rugurgitasi aliran darah bisa terjadi. Komplikasi besar pembedahan koreksi komplit adalah kesukaran mencapai hemostasis pembedahan. Disfungsi platelet dan hiperfibrinogenemia adalah sering dalam pasien dan mengakibatkan ke perdarahan postoperasi. Penyimpangan kanan ke kiri sering terjadi melalui foramen ovale sewaktu periode post operasi. Penyimpangan melalui foramen ovale bertindak sebagai injap keselamatan jika ventrikel kanan gagal berfungsi pada efisiensi yang sama dengan ventrikel kiri.
Di masa lalu, bayi yang mengikuti 1 dari 3 procedur paliatif untuk meningkatkan aliran darah pulmonary. Ketiga procedur paliatif ini meliputi anastomisis arteri sistemik kepada arteri pulmonal dalam bantuan untuk meningkatkan aliran darah pulmonary untuk perbaikan oksigenasi arterial. Tindakan paliatif ini adalah prosedur Waterston(anastomosis sisi ke sisi aorta desending ke arteri pulmonary kanan), operasi Potts(anastomosis sisi ke sisi aorta desenden ke arteri pulmonary kiri) dan Blalock-Taussig (anastomosis kanan ke hujung arteri subklavian kepada arteri pulmonary) walaubagaimanapun, prosedur ini diasosiasikan dengan komplikasi jangka panjang seperti hipertensi pulmonal, overload volume ventricular kiri, dan distorsi cabang arteri pulmonari.
Managemen Anestesi
Managemen anestesi pada pasien dengan TOF memerlukan pemahaman yang dalam tentang kejadian dan obatan yang mampu mengubah magnitude penyimpangan kanan ke kiri intrakardia. Sebagai contoh, apabila magnitude penyimpangan meningkat dengan akut, akan berlaku penurunan pada aliran darah pulmonary dan PaO2. Tambahan, magnitude pwnyimpangan kanan ke kiri bisa mengubah farmakokinetik kedua obat inhalasi dan injeksi.
Magnitud pentimoangan kanan ke kiri boleh meningkat dengan (1) penurunan resistenm vaskuler sistemik, (2) penngkatan resisten vaskular pulmonary, dan (3) peningkatan kontraksi miokardial, dimana obstruksi infundibular kepada ejeksi darah pada venrikel kanan. Diantara semua, resisten ejeksi darah kedalam aliran pulmomari telah dikoreksi, justeru magnitude penyimpangan menjadi proposional dengan resisten vaskuler sistemik. Induksi farmakologi meresponkan penurunan resiste vaskuler sistemik (anestesi volatile, pelepasan histamine, blok ganglion, bloker α-adregenik) meningkatkan magnitude penyimpangan kanan ke kiri dan mengarahkan ke hypoxemia arterial. Aliran darah pulmonal bisa diturunkan dengan meningkatkan resisten vaskuler pulmonary yang menyertai maneuver ventilasi intraoperasi dengan tekanan positif pulmonary intermiten atao tekanan end-respirasi positif. Kehilangan tekanan negative intrapleura pada pembukaan dada meningkatkan resisten tekanan pulmonary dan magnitude penyimpangan. Kelebihan ventilasi terkawal paru semasa pembedahan sering menutupi potensi terjadinya. Oksigenasi arterial tidak dapat dijagkakan memburuk pada pasien TOF walaupun dengan institusi ventilasi tekanan positif atau setelah pembukaan dada.
Persiapan preoperasi
Secara preoperasi, adalah penting dielakkan dari berlaku dehidrasi dengan mengawal masukan oral pada pasien muda atau dengan memberikan cairan intravena sebelum kedatangan pasien ke ruang operasi. Menangis yang diasosiasikan dengan administrasi obat intramuscular untuk pemedikasi bisa mengakibatkan serangan hipersianotik. Dengan alas an ini, ia bisa elakkan dengan tidak menggunakan obat melalui intramuscular sehingga pasien benar-benar dalam situasi terkawal dan kebolehan mengawal serangan hipersianotik ada dengan optimal. Î’-adrenergik antagonis harus diteruskan sehingga induksi anestesi pada pasien yang menerima obat tersebut sebagai profilaksis terhadap serangan sianosis.
Induksi anestesi
Induksi anestesi pada pasien dengan TOF sering kali dilakukan dengan menggunakan ketamin (3 sampai 4mg/kg IM atau 1 ke 2 mg/kg IV). Onset anestesi setelah injeksi ketamin dapat menunjukkan oksigenasi arterial lebih baik yang dianggap menunjukkan peningkatan aliran darah pulmonary akibat dari induksi ketamin meningkatkan resisiten vaskuler sistemik, dimana bisa mengakibatkan penurunan magnitude penyimpagan kanan ke kiri. Ketamin juga telah dinyatakan mampu meningkatkan resisten vaskuler pulmonary yang tidak diinginkan pada pasien dengan penyimpangan kanan ke kiri. Efikasi terhadap respon ketamin kepada pasien dengan TOF adalah tidak signifikan. Intubasi trakea dibantu dengan pemberian muscle relaxant. Harus diingat bahawa pemberian obat intravena adalah lebih cepat onsetnya pada keadaan dengan penyimpangan kanan ke kiri kerana efek delusi dalam paru berkurang. Untuk ini, adalah penting untuk menurunkan kecepatan injeksi intravena obat depresi pada pasien ini.
Induksi anestesi dengan anestesi volatile seperti sevoflurane(halothane) adalah diterima tetapi harus di selesaikan dengan hati-hati dan dengan monitoring oksigenasi sistemik. Walaupun penurunan aliran darah pulmonary mempercepat tercapainya konsentrasi anestesi, bahaya penurunan tekanan darah sistemik ditambah oenurunan resisten vaskuler sistemik adalah besar. Serangan hipersianotik boleh berlaku sewaktu administrasi anestesi volatile dengan konsentrasi rendah.
Maintenance Anestesi
Manajemen anestesi sering dicapai dengan pengunaan nitrous oksida dan ketamin. Kelebihan kombinasi ini adalah preservasi resisten vaskuler sistemik. Nitrous oksida bisa mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler pulmonary, tetapi secara potensial adalah lebih dari offset dari kesan penting pada resistensi vaskuler sistemik(tiada perubahan atau sedikit kenaikan). Kekurangan Utama dalam penggunaan nitrous oksida adalah penurunan konsentrasi oksigen inspirasi. Secara teori, peningkatan konsentrasi oksigen inspirasi mampu menurunkan resisten vaksuler pulmo mengarahkan kepada peningkatan aliran darah pulmo dan perbaina PaO2. Oleh itu adalah bagus jika nitrous oksida diturunkan kepada 50%. Penggunaan opiod atau benzodiazepine boleh dikonsiderasikan sewaktu maintainance anestesi, tetapi dosis dan kecepatan administrasi haru di sesuaikan untuk menurunkan resiko penurunan tekanan darah sistemik dan resisten vaskular sistemik.
Paralisis otot skeletal intraoperatif dapat diberikan dengan pancuronium kerana kebolehannya untuk menstabilkan tekana darah sistemik dan resisten vaskuler sistemik. Peningkatan detak jantung dikaitkan dengan pancuronium adalah sangat membantu dalam mengawal output ventricular jantung agen bloking nondipolarisasi alternative seringkali dipilih dengan konsiderasi diberikan kepada kebolehan obat tertentu apabila diadministrasi dengan cepat dan dosis tinggi untuk merangsang perlepasan histamine dengan penurunan resisten vaskuler sistemik dan tekanan darah sistemik.
Ventilasi pada paru pasien harus dikontrol, tetapi harus diingat jika pemberiab PPP yang berlebihan mampu meningkatkan resisten aliran darah melalui paru. Cairan intravaskuler harus di awasi dengan pemberian IV, hipovolemia akut mampu terjadi dan mampu meningkatkan magnitude penyimpangan kanan ke kiri. Dalam pandangan erithrositosis yang dijangkakan, adalah memungkinkan tidak perlu untuk penggantian darah sehingga lebih kurang 20% kehilangan darah telah terjadi. Adalah penting untuk memberikan penjagaan untuk mengelakkan infuse udara kerana ini akan mengakibatkan emboli sistemik. Obat α-adregenik agonis seperti phenylephrine harus ada untuk mengobati penurunan yang tidak diinginkan pada tekanan darah sistemik akibat penurunan resisten sistemik vaskular.
Karakteristik pasien setelah pembedahan TOF
Walaupun pada pasien setelah pembedahan adalah asimtomatik, masa survival adalah singakt akibat kematian mendadak yang diakibatkan oleh kausa jantung. Dysritmia jantung adalah sering pada pasien pasca operasi TOF. Pasien dengan TOF terkoresi sering mengalami fibrilasi atrial atau flutter. Right bundle branch block adalah sering terjadi, manakala blok atrioventrikular derajat 3 adalah jarang. Regurgitasi pulmonal mungkin terjadi sebagai konsekuen pembedahan ventricular kanan dan disfungsi. Aneurisma bisa terbentuk pada tapak dimana koreksi hioertrofi dilakukan.

Stroke

STROKE
by Mohd Syis Bin Zulkipli

Definisi
Stroke adalah suatu ganguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh ganguan peredaran darah otak. Berdasarkan etiologinya, stroke dibagi menjadi stroke non hemorrhagic (TIA, RIND,S toke progressive, Complete Stroke) dan stroke hemorrhagic (Intraserebral dan subarachnoid bleeding).

Pathofisiologi
Stroke non hemorragik adalah stroke yang biasanya disebabkan kerana adanya sumbatan pada pembuluh darah otak yang dapat berupa emboli maupun kalsifikasi ditambah dengan kerusakan vaskuler oleh lipid. Sumbatan ini menyebabkan terjadinya edema di daerah yang mengalami iskemik berupa edema vasogenik. Stroke jenis ini paling banyak disebabkan oelh emboli ekstrakranial atau thrombosis intracranial. Namun dapat juga disebabkan oleh penurunan aliran darah serebri.
Infark merukan kematian jaringan akibat influx Ca2+ dan pelepasan radikel bebas kerana terjadi suplai O2 ke jaringan terhambat. Bila jaringan otak kekurangan O2, akan terjadi pelunakan dan edema baik intrasel maupun ekstrasel. Pada daerah otak yang mengalami infark kita akan menemukan daerah yang disebut Umbra (daerah sel neuronnya sudah mati dan dikenali sebagai daerah infark) dan Penumbra ( daerah yang neuronnya masih setengah hidup dan setengah mati dipanggil pre-infark).
Stroke hemoragik pula adalah stroke yang terjadi kerana pecahnya aneurisma pada pembuluh darah yang memvaskularisasi otak. Pecahnya pembuluh darah seringkali disebabkan ileh naiknya tekanan intravaskuler sehingga dinding pembuluh darah tidak mampu menahan regangan. Kerusakan pada dinding pembuluh darah mengakibatkan darah keluar dari vasa ke ruang interstitial, kemudian menimbulkan tekanan ke jaringan sekitarnya dan mengalami konsolidasi dan pembekuan.
Gambaran Radiologis
1. Stroke Non-hemoragik : CT-Scan
a. Pada stadium awal sampai 6 jam pertama, tak tampak kelainan pada CT-Scan. Kadang kadang sampai 3 hari belum tampak gambaran yang jelas. Sesudah 4 hari tampak gambaran lesi hipodens ( warna hitam), batas tidak tegas.
b. Fase lanjut, densitas akan semakin turun, batas juga akan semakin tegas, dan bentuk semakin sesuai dengan area arteri yang tersumbat.
c. Fase akhir, terlihat sebagai daerah hipodens dengan densitas sesuai dengan densitas liquordan berbatas tegas.
2. Stroke Hemoragik : CT-Scan
a. Terlihat gambaran lesi hiperdens warna putih dengan batas tegas.
b. Pada stadium lanjut akan terlihat edema disekitar perdarahan ( edem perifokal) yang akan menyebabkan pendesakan. Jika terjadi absorbs lengkap, gambarannya akan menjadi hipodens.

Referensi
Ekayuda, Iwan, Sjahriar Rasad, editor. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta : Divisi Radiodiagnostik, Departmen Radioligi FK UI-RSCM, 2005. Hal : 382,385
Joseph U, MD. Stroke Ischemic. www.emedicine.com
Nassisi, Denise, MD. Stroke Hemorragic. www.emedicine.com

Trauma Ginjal

RENAL TRAUMA
by Mohd Syis Bin Zulkipli
Definisi
Trauma ginjal adalah kecederaan yang paling sering pada sistem urinari. Walaupun ginjal mendapat proteksi dari otot lumbar, thoraks, badan vertebra dan viscera, ginjal mempunyai mobiliti yang besar yang bisa mengakibatkan kerusakan parenchymal dan kecederaan vaskular dengan mudah. Trauma sering kali disebabkan kerana jatuh, kecelakaan lalu lintas, luka tusuk, dan luka tembak. Rupture spontan ginjal adalah jarang. Trauma ginjal bias diklasifikasikan kepada trauma tumpul dan tajam maupun dengan tahap kecederaan iaitu kecederaan major ataupun minor.
Pathofisiologi
Trauma ginjal tumpul bias diklasifikasikan mengikut tahap keparahan luka dan yang paling sering ditemukan ialah kontusio ginjal. Trauma tumpul pada region costa ke 12 menekan ginjal ke lumbar spine dan akan mengakibatkan cedera pada pinggang atau bahagian bawah ginjal. Ditempat costa 12 memberi impak. Ginjal juga boleh rusak akibat dari tekanan dari bahagian anterior abdomen sering kali dalam kecederaan dalam kecelakaan lalu lintas.Trauma penetrasi yang sering kali disebabkan oleh luka tusuk atau luka tembak sering ditemukan juga. Walaupun sering ditemukan hematoma peri-renal, pasien mungkin tidak menunjukkan hematuria kecuali luka mencapai calyx atau pelvis.
Klasifikasi Cedera Ginjal
Klasifikasi menurut Smith’s General Urology, 13th ed., 1992 adalah seperti berikut;
Gred I Kontusio atau subkapsular hematom tanpa lacerasi parenkim.
Gred II Tidak membesar, confined perirenal hematoma atau lacerasi kortikal kurang dari 1 cm dalam tanpa ekstravasasi urinary.
Gred III Lacerasi parenkim kurang dari 1 cm kedalam korteks tanpa ekstravasasi urinary.
Gred IV Lacerasi parenkim meliputi corticomedullary junction dan kedalam sistem penampungan. Bias didapatkan thrombosis ateri segmental ginjal tanpa lacerasi parenkim.
Gred V Tiga situasi yang memungkinkan iaitu thrombosis arteri Utama renal, laserasi multiple dan avulse ateri utama renal atau vena.
Gejala Klinis
a) Hematuria (massif atau mikroskopis)
b) Nyeri abdominal dan lumbar
c) Mual dan muntah
d) Shok hypovolemik
Foto yang diminta
a) BNO-IVP
b) Foto Abdomen AP
c) CT-SCAN
d) USG (kontroversi)
Gambaran radiologis
a) Foto BNO-IVP : Terdapat filling defect pada renal kiri.
b) Foto Abdomen AP : Tidak ditemukan renal shadow pada renal kiri.

Referensi
http://www.medstudents.com.br/cirur/cirur4.htm

Penyakit Jantung Hipertensi (HHD)

HIPERTENSIVE HEART DISEASE
by Mohd Syis Bin Zulkipli

Definisi
Hipertensi heart disease (HHD) adalah istilah yang diterapkan untuk menyebutkan penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventricle hyperthrophy (LVH), aritmia jantung, penyakit jantung koroner, dan penyakit jantung kronis, yang disebabkan kerana peningkatan tekanan darah, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pathofisiologi
Peningkatan tekanan darah secara sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sehingga beban jantung bertambah. Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri untuk meningkatkan kontraksi. Hipertrofi ini ditandai dengan ketebalan dinding yang bertambah, fungsi ruang yang memburuk, dan dilatasi ruang jantung. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi akhirnya terlampaui dan terjadi dilatasi dan payah jantung. Jantung semakin terancam seiring parahnya aterosklerosis koroner. Angina pectoris juga dapat terjadi kerana gabungan penyakit arterial koroner yang cepat dan kebutuhan oksigen miokard yang bertambah akibat penambahan massa miokard.
Gambaran radiologis
Keadaan awal batas kiri bawah jantung menjadi bulat kerana hipertrofi konsentrik ventrikel kiri. Pada keadaan lanjut, apekss jantung membesar ke kiri dan bawah. Aortic knob membesar dan menonjol disertai kalsifikasi. Aorta ascenden dan descenden melebar dan berkelok ( pemanjangan aorta/elongasio aorta).

Referensi
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. May 212003; 289(19):2560-72
Kurt, Eugene, et al. Harrison’s: Principles of Internal Medicine. Singapore: McGraw Hill.2000
Price, Sylvia A.Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta:ECG, 2005

Katarak Senilis


INTRODUCTION
Background: Senile cataract is a vision-impairing disease characterized by gradual, progressive thickening of the lens. It is one of the leading causes of blindness in the world today. This is unfortunate, considering that the visual morbidity brought about by age-related cataract is reversible. As such, early detection, close monitoring, and timely surgical intervention must be observed in the management of senile cataracts. The succeeding section is a general overview of senile cataract and its management.
Pathophysiology:
The pathophysiology behind senile cataracts is complex and yet to be fully understood. In all probability, its pathogenesis is multifactorial involving complex interactions between various physiologic processes. As the lens ages, its weight and thickness increases while its accommodative power decreases. As the new cortical layers are added in a concentric pattern, the central nucleus is compressed and hardened in a process called nuclear sclerosis.

Multiple mechanisms contribute to the progressive loss of transparency of the lens. The lens epithelium is believed to undergo age-related changes, particularly a decrease in lens epithelial cell density and an aberrant differentiation of lens fiber cells. Although the epithelium of cataractous lenses experiences a low rate of apoptotic death, which is unlikely to cause a significant decrease in cell density, the accumulation of small scale epithelial losses may consequently result in an alteration of lens fiber formation and homeostasis, ultimately leading to loss of lens transparency. Furthermore, as the lens ages, a reduction in the rate at which water and, perhaps, water-soluble low-molecular weight metabolites can enter the cells of the lens nucleus via the epithelium and cortex occurs with a subsequent decrease in the rate of transport of water, nutrients, and antioxidants.
Consequently, progressive oxidative damage to the lens with aging takes place, leading to senile cataract development. Various studies showing an increase in products of oxidation (eg, oxidized glutathione) and a decrease in antioxidant vitamins and the enzyme superoxide dismutase underscore the important role of oxidative processes in cataractogenesis.
Another mechanism involved is the conversion of soluble low-molecular weight cytoplasmic lens proteins to soluble high molecular weight aggregates, insoluble phases, and insoluble membrane-protein matrices. The resulting protein changes cause abrupt fluctuations in the refractive index of the lens, scatter light rays, and reduce transparency. Other areas being investigated include the role of nutrition in cataract development, particularly the involvement of glucose and trace minerals and vitamins.
Senile cataract can be classified into 3 main types: nuclear cataract, cortical cataract, and posterior subcapsular cataract. Nuclear cataracts result from excessive nuclear sclerosis and yellowing, with consequent formation of a central lenticular opacity. In some instances, the nucleus can become very opaque and brown, termed a brunescent nuclear cataract. Changes in the ionic composition of the lens cortex and the eventual change in hydration of the lens fibers produce a cortical cataract. Formation of granular and plaquelike opacities in the posterior subcapsular cortex often heralds the formation of posterior subcapsular cataracts.
Frequency:
  • In the US: At least 300,000-400,000 new visually disabling cataracts occur annually in the US, with complications of modern surgical techniques resulting in at least 7000 irreversibly blind eyes.
  • In the Framingham Eye Study from 1973-1975, senile cataract was seen in 15.5% of the 2477 patients examined. The overall rates of senile cataract in general and of its 3 main types — nuclear, cortical, and posterior subcapsular — rapidly increased with age, so that for the oldest age group, 75 years and older, nuclear, cortical, and posterior subcapsular cataracts were found in 65.5%, 27.7%, and 19.7% of the study population, respectively. Nuclear opacities were the most commonly seen lens change.
  • Internationally: Senile cataract continues to be the main cause of visual impairment and blindness in the world. At least 5-10 million new visually disabling cataracts occur yearly, with modern surgical techniques resulting in 100,000-200,000 irreversibly blind eyes. Published data estimate that 1.2% of the entire population of Africa is blind, with cataract causing 36% of this blindness. In a survey conducted in 3 districts in the Punjab plains, the overall rates of occurrence of senile cataract was 15.3% among 1269 persons examined who were aged 30 years and older and 4.3% for all ages. This increased markedly to 67% for ages 70 years and older. An analysis of blind registration forms in the west of Scotland showed senile cataract as 1 of the 4 leading causes of blindness.

Mortality/Morbidity

Most morbidity associated with senile cataracts occurs postoperatively and is discussed in further detail later. Failure to treat a developing cataract surgically may lead to devastating consequences such as lens swelling and intumescence, secondary glaucoma, and, eventually, blindness.

While the risk of dying as a result of cataract extraction is almost negligible, studies have shown an increased risk of mortality in patients who underwent surgery. In a comparison of 167 patients aged 50 years or older who underwent cataract extraction at the New England Medical Center in a period of 1 year to 824 patients who elected 1 of 6 other surgical procedures, it was found that the former had almost twice the mortality of the latter. Further analysis showed no significant correlation between diabetes and increased mortality. In a similar 5-year mortality analysis, patients with cataracts who were younger than 75 years had significantly higher age-specific rates of mortality than would be expected from US life tables.

These data imply an association between senile cataracts and increased mortality. Meddings et al suggest that senile cataract may be a marker of generalized tissue aging. Hirsch and Schwartz who proposed the concept that senile cataracts reflect systemic phenomena rather than only a localized ocular disease share this view.

Race:

Although race has been suggested as a possible risk factor for senile cataract, scarce literature exists to prove this theory. However, it has been observed that unoperated cataracts account for a higher percentage of blindness among blacks compared to whites.

Sex:

Studies on the prevalence of senile cataract between males and females have yielded contrasting results.

  • In the Framingham Eye Study from 1973-75, females had a higher prevalence than males in both lens changes (63 to 54.1%) and senile cataract (17.1 to 13.2%).
  • Sperduto and Hiller noted that each of the 3 types of senile lens opacities was found more often in women than in men. In a separate investigation by Nishikori and Yamomoto, the male-to-female ratio was 1:8 with a female predominance in patients older than 65 years who were operated on for senile cataract.
  • In a hospital-based, case-control study of senile cataract conducted in Japan, it was observed that an increased risk of cataract was found in males who were presently spending 7 hours or more outdoors and in females with 4 or fewer remaining teeth. However, in another analysis by Martinez et al, no sexual difference was noted in the prevalence of senile cataract.

Age:

Age is an important risk factor for senile cataract. As a person ages, the chance of developing a senile cataract increases. In the Framingham Eye Study from 1973-1975, the number of total and new cases of senile cataract rose dramatically from 23.0 cases per 100,000 and 3.5 cases per 100,000, respectively, in persons aged 45-64 years to 492.2 cases per 100,000 and 40.8 cases per 100,000 in persons aged 85 years and older.

CLINICAL

History:

Careful history taking is essential in determining the progression and functional impairment in vision resulting from the cataract and in identifying other possible causes for the lens opacity. A patient with senile cataract often presents with a history of gradual progressive deterioration and disturbance in vision. Such visual aberrations are varied depending on the type of cataract present in the patient.

Decreased visual acuity

Decreased visual acuity is the most common complaint of patients with senile cataract. The cataract is considered clinically relevant if visual acuity is affected significantly. Furthermore, different types of cataracts produce different effects on visual acuity. For example, a mild degree of posterior subcapsular cataract can produce a severe reduction in visual acuity with near acuity affected more than distance vision, presumably as a result of accommodative miosis. However, nuclear sclerotic cataracts often are associated with decreased distance acuity and good near vision. A cortical cataract generally is not clinically relevant until late in its progression when cortical spokes compromise the visual axis. However, instances exist when a solitary cortical spoke occasionally results in significant involvement of the visual axis.

Glare

Increased glare is another common complaint of patients with senile cataracts. This complaint may include an entire spectrum from a decrease in contrast sensitivity in brightly lit environments or disabling glare during the day to glare with oncoming headlights at night. Such visual disturbances are prominent particularly with posterior subcapsular cataracts and, to a lesser degree, with cortical cataracts. It is associated less frequently with nuclear sclerosis. Many patients may tolerate moderate levels of glare without much difficulty, and, as such, glare by itself does not require surgical management.

Myopic shift

The progression of cataracts may frequently increase the diopteric power of the lens resulting in a mild-to-moderate degree of myopia or myopic shift. Consequently, presbyopic patients report an increase in their near vision and less need for reading glasses as they experience the so-called second sight. However, such occurrence is temporary, and, as the optical quality of the lens deteriorates, the second sight is eventually lost. Typically, myopic shift and second sight are not seen in cortical and posterior subcapsular cataracts. Furthermore, asymmetric development of the lens-induced myopia may result in significant symptomatic anisometropia that may require surgical management.

Monocular diplopia

At times, the nuclear changes are concentrated in the inner layers of the lens, resulting in a refractile area in the center of the lens, which often is seen best within the red reflex by retinoscopy or direct ophthalmoscopy. Such a phenomenon may lead to monocular diplopia that is not corrected with spectacles, prisms, or contact lenses.

Physical:

After a thorough history is taken, careful physical examination must be performed. The entire body habitus is checked for abnormalities that may point out systemic illnesses that affect the eye and cataract development.
• A complete ocular examination must be performed beginning with visual acuity for both near and far distances. When the patient complains of glare, visual acuity should be tested in a brightly lit room. Contrast sensitivity also must be checked, especially if the history points to a possible problem.
• Examination of the ocular adnexa and intraocular structures may provide clues to the patient's disease and eventual visual prognosis.
o A very important test is the swinging flashlight test which detects for a Marcus Gunn pupil or a relative afferent pupillary defect (RAPD) indicative of optic nerve lesions or diffuse macular involvement. A patient with RAPD and a cataract is expected to have a very guarded visual prognosis after cataract extraction.
o A patient with long-standing ptosis since childhood may have occlusion amblyopia, which may account more for the decreased visual acuity rather than the cataract. Similarly, checking for problems in ocular motility at all directions of gaze is important to rule out any other causes for the patient's visual symptoms.
• Slit lamp examination should not only concentrate on evaluating the lens opacity but the other ocular structures as well (eg, conjunctiva, cornea, iris, anterior chamber).
o Corneal thickness and the presence of corneal opacities such as corneal guttata must be checked carefully.
o Appearance of the lens must be noted meticulously before and after pupillary dilation.
o The visual significance of oil droplet nuclear cataracts and small posterior subcapsular cataracts is evaluated best with a normal-sized pupil to determine if the visual axis is obscured. However, exfoliation syndrome is appreciated with the pupil dilated, revealing exfoliative material on the anterior lens capsule.
o After dilation, nuclear size and brunescence as indicators of cataract density can be determined prior to phacoemulsification surgery. The lens position and integrity of the zonular fibers also should be checked because lens subluxation may indicate previous eye trauma, metabolic disorders, or hypermature cataracts.
• The importance of direct and indirect ophthalmoscopy in evaluating the integrity of the posterior pole must be underscored. Optic nerve and retinal problems may account for the visual disturbance experienced by the patient. Furthermore, the prognosis after lens extraction is affected significantly by detection of pathologies in the posterior pole preoperatively (eg, macular edema, age-related macular degeneration).
Causes: Numerous studies have been conducted to identify risk factors for development of senile cataracts. Various culprits have been implicated including environmental conditions, systemic diseases, diet, and age.
West and Valmadrid stated that age-related cataract is a multifactorial disease with different risk factors associated to the different cataract types. In addition, they stated that cortical and posterior subcapsular cataracts were related closely to environmental stresses, such as ultraviolet (UV) exposure, diabetes, and drug ingestion. However, nuclear cataracts seem to have a correlation with smoking. Alcohol has been associated with all cataract types.
A similar analysis was completed by Miglior et al. They found that cortical cataracts were associated with the presence of diabetes for more than 5 years and increased serum potassium and sodium levels. A history of surgery under general anesthesia and the use of sedative drugs were associated with reduced risks of senile cortical cataracts. Posterior subcapsular cataracts were associated with steroid use and diabetes, while nuclear cataracts had significant correlations with calcitonin and milk intake. Mixed cataracts were linked with a history of surgery under general anesthesia.
• Systemic diseases and senile cataract
o Senile cataracts have been associated with a lot of systemic illnesses, to include the following: cholelithiasis, allergy, pneumonia, coronary disease and heart insufficiency, hypotension, hypertension, mental retardation, and diabetes.
o Systemic hypertension was found to significantly increase the risk for posterior subcapsular cataracts. In a related study by Jahn et al, hypertriglyceridemia, hyperglycemia, and obesity was found to favor the formation of posterior subcapsular cataracts at an early age.
o A possible pathway for the role of hypertension and glaucoma in senile cataract formation was proposed with induced changes in the protein conformational structures in the lens capsules, subsequently causing alterations in membrane transport and permeability of ions, and, finally, increasing intraocular pressure resulting in the exacerbation of cataract formation.
• UV light and senile cataract
o The association of UV light and development of senile cataract has generated much interest. One hypothesis implies that senile cataracts, particularly cortical opacities, may be the result of thermal damage to the lens.
o An animal model by Al-Ghadyan and Cotlier documented an increase in the temperature of the posterior chamber and lens of rabbits after exposure to sunlight due to an ambient temperature effect through the cornea and to increased body temperature.
o In related studies, people living in areas with greater UV exposure were more likely to develop senile cataracts and to develop them earlier than people residing in places with less UV exposure.
• Other risk factors
o Significant associations with senile cataract were noted with increasing age, female sex, social class, and myopia. Consistent evidence from the study of West and Valmadrid suggested that the prevalence of all cataract types was lower among those with higher education. Workers exposed to infrared radiation also were found to have a higher incidence of senile cataract development.
o Although myopia has been implicated as a risk factor, it was shown that persons with myopia who had worn eyeglasses for at least 20 years underwent cataract extraction at a significantly older age than emmetropes, implying a protective effect of the eyeglasses to solar UV radiation.
o The role of nutritional deficiencies in senile cataract has not been proven or established. However, a high intake of the 18-carbon polyunsaturated fatty acids linoleic acid and linolenic acid reportedly may result in an increased risk of developing age-related nuclear opacity.
DIFFERENTIAL
Cataract, Traumatic . Other Problems to be Considered: Aside from being age-related and due to trauma, cataract formation in adult patients also may be due to chronic uveitis, chronic steroid use, or to posterior pole pathologies (eg, intraocular tumor, long-standing retinal detachment).

WORKUP
Lab Studies:
• Diagnosis of senile cataract is made basically after a thorough history and physical examination are performed. Laboratory tests are requested as part of the preoperative screening process to detect coexisting diseases (eg, diabetes mellitus, hypertension, cardiac anomalies). Recent studies have shown that thrombocytopenia may lead to increased perioperative bleeding and, as such, should be properly detected and managed before surgery.
Imaging Studies:
• Ocular imaging studies (eg, ultrasound, CT scan, MRI) are requested when a posterior pole pathology is suspected and an adequate view of the back of the eye is obscured by the dense cataract. This is helpful in planning out the surgical management and providing a more guarded postoperative prognosis for the visual recovery of the patient.
Other Tests:
• Other special tests can be performed when coexisting ocular diseases are suspected, especially in identifying preoperative visual loss resulting from them. Aside from the routine visual acuity testing, testing for brightness acuity and contrast sensitivity and confrontation visual field testing can be performed to assess visual function. Patients with a history of glaucoma, optic nerve disease, or retinal abnormality should undergo an automated visual field test to document the degree of preoperative field loss.
• In patients suspected of having a macular problem, the following tests may be performed to evaluate macular function: Maddox rod test, photostress recovery test, blue-light entoptoscopy, Purkinje entoptic phenomenon, and visual-evoked response and electroretinography (VER-ERG).
o In patients with dense cataracts that preclude adequate visualization of the fundus, a Maddox rod test can be used to grossly evaluate macular function with detection of a large scotoma, represented as a loss of the red line, a sign suggestive of a macular pathology.
o While the photostress recovery test is a semiquantitative estimate of macular function, both blue-light entoptoscopy and Purkinje entoptic phenomenon are subjective means of evaluating macular integrity. The most objective method of measuring macular function is VER-ERG.
• Several measurements should be taken preoperatively, particularly in an anticipated cataract extraction with intraocular lens (IOL) implantation.
o Careful refraction must be performed on both eyes in planning the IOL to be implanted. The power of the IOL on the operated eye must be compatible with the refractive error of the fellow eye to avoid complications (eg, postoperative anisometropia).
o An accurate biometry also should be performed to calculate for the IOL power to be used.
o Corneal integrity, specifically the endothelial layer, must be assessed very well through pachymetry and specular microscopy to predict postoperative corneal morbidities (eg, corneal edema, corneal decompensation) and to weigh the risks versus the benefits of performing cataract extraction.
Histologic Findings: Nuclear cataracts are characterized by homogeneity of the lens nucleus with loss of cellular laminations, while cortical cataracts typically manifest with hydropic swelling of the lens fibers with globules of eosinophilic material (morgagnian globules) seen in slitlike spaces between lens fibers. Finally, a posterior subcapsular cataract is associated with posterior migration of the lens epithelial cells in the posterior subcapsular area, with aberrant enlargement of the epithelial cells (Wedl or bladder cells).
Costello et al examined senile cataracts using electron microscopy to highlight differences in the cellular architecture of the various forms of age-related lens changes. Comparisons were made between a typical nuclear cataract with a central opacity and a transparent rim, and a more advanced or mature, completely opaque nuclear cataract. The former was described as having no obvious cell disruption, cellular debris, or changes that could readily account for the central opacity. The fiber cells had intact uniformly stained cytoplasms with well-defined plasma membrane borders and gap junctions. The mature cataract exhibited various types of cell disruption in the perimeter but not in the core of the nucleus in the form of globules, vacuoles, multilamellar membranes, and clusters of highly undulating membranes.
Staging: Clinical staging of senile cataract is based largely on the visual acuity of the patient. A patient who cannot read better than 20/200 on the visual acuity chart is said to have a mature cataract. If the patient can distinguish letters at lines better than 20/200, then the cataract is described as being immature. An incipient cataract is found in a patient who can still read at 20/20 but possesses a lens opacity as confirmed by slit lamp examination

TREATMENT
Medical Care: No time-tested and proven medical treatment exists to delay, prevent, or reverse the development of senile cataracts. Aldose reductase inhibitors, which are believed to inhibit the conversion of glucose to sorbitol, have shown promising results in preventing sugar cataracts in animals. Other anticataract medications being investigated include sorbitol-lowering agents, aspirin, glutathione-raising agents, and antioxidant vitamins C and E.
Surgical Care: The definitive management for senile cataract is lens extraction. Over the years, various surgical techniques have evolved from the ancient method of couching to the present-day technique of phacoemulsification. Almost parallel is the evolution of the IOLs being used, which vary in ocular location, material, and manner of implantation. Depending on the integrity of the posterior lens capsule, the 2 main types of lens surgery are the intracapsular cataract extraction (ICCE) and the extracapsular cataract extraction (ECCE). Below is a general description of the 3 commonly used surgical procedures in cataract extraction namely ICCE, standard ECCE, and phacoemulsification. Reading books on cataract surgeries for more in-depth discussion of the topic, particularly with regard to technique and procedure is recommended.
• Intracapsular cataract extraction
o Prior to the onset of more modern microsurgical instruments and better IOL, ICCE was the preferred method for cataract removal. It involves extraction of the entire lens, including the posterior capsule. In performing this technique, there is no need to worry about subsequent development and management of capsular opacity. The technique can be performed with less sophisticated equipment and in areas where operating microscopes and irrigating systems are not available.
o However, a number of disadvantages and postoperative complications accompany ICCE. The larger limbal incision, often 160-180°, is associated with the following risks: delayed healing, delayed visual rehabilitation, significant against-the-rule astigmatism, iris incarceration, postoperative wound leaks, and vitreous incarceration. Corneal edema is a common intraoperative and immediate postoperative complication.
o Furthermore, endothelial cell loss is greater in ICCE than in ECCE. The same is true about the incidence of postoperative cystoid macular edema (CME) and retinal detachment. The broken integrity of the vitreous can lead to postoperative complications even after a seemingly uneventful operation. Finally, because the posterior capsule is not intact, the IOL to be implanted must either be placed in the anterior chamber or sutured to the posterior chamber. Both techniques are more difficult to perform than simply placing an IOL in the capsular bag and are associated with postoperative complications, the most notorious of which is pseudophakic bullous keratopathy.
o Although the myriad of postoperative complications has led to the decline in popularity and use of ICCE, it still can be used in cases where zonular integrity is impaired severely to allow successful lens removal and IOL implantation in ECCE. Furthermore, ICCE can be performed in remote areas where more sophisticated equipment is not available.
o ICCE is contraindicated absolutely in children and young adults with cataracts and cases with traumatic capsular rupture. Relative contraindications include high myopia, Marfan syndrome, morgagnian cataracts, and vitreous presenting in the anterior chamber.
• Extracapsular cataract extraction
o In contrast to ICCE, ECCE involves the removal of the lens nucleus through an opening in the anterior capsule with retention of the integrity of the posterior capsule. ECCE possesses a number of advantages over ICCE most of which are related to an intact posterior capsule, as follows:
 A smaller incision is required in ECCE and, as such, less trauma to the corneal endothelium is expected.
 Short and long-term complications of vitreous adherence to the cornea, iris, and incision is minimized or eliminated.
 A better anatomic placement of the IOL is achieved with an intact posterior capsule.
 An intact posterior capsule also (1) reduces the iris and vitreous mobility that occurs with saccadic movements (eg, endophthalmodonesis), (2) provides a barrier restricting the exchange of some molecules between the aqueous and vitreous, and (3) reduces the incidence of CME, retinal detachment, and corneal edema.
 Conversely, an intact capsule prevents bacteria and other microorganisms inadvertently introduced into the anterior chamber during surgery from gaining access to the posterior vitreous cavity and causing endophthalmitis.
 Secondary IOL implantation, filtration surgery, corneal transplantation, and wound repairs are performed more easily with a higher degree of safety with an intact posterior capsule.
o The main requirement for a successful ECCE and posterior capsule IOL implantation is zonular integrity. As such, when zonular support is insufficient or appears suspect to allow a safe removal of the cataract via ECCE, ICCE, or pars plana lensectomy should be considered.
• Standard ECCE and phacoemulsification
o Standard ECCE and phacoemulsification are similar in that extraction of the lens nucleus is performed through an opening in the anterior capsule or anterior capsulotomy. Both techniques also require mechanisms to irrigate and aspirate fluid and cortical material during surgery. Finally, both procedures place the IOL in the posterior capsular bag that is more anatomical than the anteriorly placed IOL.
o Needless to say, significant differences exist between the 2 techniques. Removal of the lens nucleus in ECCE can be performed manually in standard ECCE or with an ultrasonically driven needle to fragment the nucleus of the cataract and aspirate the lens substrate through a needle port in a process termed phacoemulsification.
o The more modern of the 2 techniques, phacoemulsification offers the advantage of using smaller incisions, minimizing complications arising from improper wound closure and affording more rapid wound healing, and faster visual rehabilitation. Furthermore, it uses a relatively closed system during both phacoemulsification and aspiration with better control of intraocular pressure during surgery, providing safeguards against positive vitreous pressure and choroidal hemorrhage. However, more sophisticated machines and instruments are required to perform phacoemulsification.
o Ultimately, the choice of which of the 2 procedures to use in cataract extraction depends on the patient, the type of cataract, the availability of the proper instruments, and the degree at which the surgeon is comfortable and proficient in performing standard ECCE or phacoemulsification.
Consultations: Prior to surgery, a thorough preoperative evaluation must be conducted, which would also include a thorough explanation of the procedure to be performed and its accompanying risks.
• Not all senile cataracts require removal at the time of diagnosis. If vision is not impaired significantly and functionally or if the patient is not prepared medically, psychologically, and financially for surgery, periodic consultations are encouraged to assess progression of the cataract.
• Postoperatively, regular follow-up visits are necessary to monitor visual rehabilitation, as well as to detect and address any immediate and late complications arising from the surgery.
Diet: In relation to the surgery, no established dietary restrictions exist that would affect the course of the operation.
Activity: After surgery, the patient is dissuaded from performing activities that would increase the intraocular pressure, especially after undergoing ICCE or standard ECCE. These activities include lifting heavy loads, chronic vigorous coughing, and straining.

MEDICATION
No drug is available that has been proven to prevent the progression of senile cataracts. Medical therapy is used preoperatively and postoperatively to ensure a successful operation and subsequent visual rehabilitation.
Drug Category: Mydriatics -- Autonomic drugs used to ensure maximal pupillary dilation preoperatively, which is essential for a successful lens extraction. Short-acting mydriatics often are used. Most commonly used mydriatics are phenylephrine hydrochloride and tropicamide.
Drug Category: Corticosteroids -- Help decrease and control inflammatory response following cataract surgery especially in the immediate postoperative period. The most commonly used ophthalmic steroid is prednisolone acetate 1%. Dexamethasone 0.1% ophthalmic solution sometimes is used as an alternative.
Drug Category: Antibiotics -- Broad-spectrum antibiotic ophthalmic solutions often are used prophylactically in immediate postoperative period. A number of topical antibiotics are used depending on surgeon's preference, but, generally, medications are active against both gram-positive and gram-negative organisms.
Drug Category: Nonsteroidal anti-inflammatory ophthalmics -- Used for pain and inflammation associated with cataract surgery.

FOLLOW-UP
Further Inpatient Care:
• Most cataract surgeries are performed on an outpatient basis, especially with the onset of phacoemulsification performed under topical anesthesia. Often, patients are discharged from the clinic as soon as they have recovered from the emotional stress of the procedure. Patients are sent home on topical steroids and antibiotics either separately or in combination. An eye shield is placed on the newly operated eye and removed a few hours after.
Further Outpatient Care:
• On the first postoperative day, visual acuity should be consistent with the refractive state of the eye, the clarity of the cornea and media, and the visual potential of the retina and optic nerve. Mild edema of the eyelid may be evident, as well as some conjunctival injection. The cornea is normally clear with minimal edema and striae. The anterior chamber should be deep with mild cellular reaction. It is important to check whether the posterior capsule is intact and whether the IOL is positioned properly. The red reflex must be strong and clear and the intraocular pressures should be within normal limits. Transient intraocular pressure elevations may be observed and attributed to retained viscoelastic.
• Significant improvement of these initial findings is to be expected in subsequent postoperative evaluation as the ocular inflammation subsides typically within 2 weeks. Topical steroids and antibiotics are tapered accordingly. Refraction is believed to be stable at the sixth to eighth postoperative week at which time corrective lenses can be prescribed. Significant postoperative astigmatism can be addressed by suture removal by the sixth week as guided by keratometry or corneal topography.
In/Out Patient Meds:
• During the postoperative period, the patient is prescribed topical 1% prednisolone acetate, which is applied every hour for the first day, then tapered depending on the inflammatory state of the eye. Recent studies have shown that topical ketorolac tromethamine provides adequate postoperative control of intraocular inflammation without the risk of increased intraocular pressure, which may be associated with steroid use. A broad-spectrum topical antibiotic also is given 4-6 times a day for 1-2 weeks.
Deterrence/Prevention:
• Age is believed to be the most significant risk factor for senile cataract and, as such, it is almost inevitable to develop some degree of lens opacity as one becomes older. No study has established firmly whether avoidance of some of the risk factors for senile cataract (eg, UV exposure, hypercholesterolemia, diabetes mellitus) will lessen the chance of developing a senile cataract.
Complications:
• The following are the major intraoperative complications encountered during cataract surgery:
o Shallow or flat anterior chamber
o Capsular rupture
o Corneal edema
o Suprachoroidal hemorrhage or effusion
o Expulsive choroidal hemorrhage
o Retained lens material
o Vitreous disruption and incarceration into wound
o Iridodialysis
o Retinal light toxicity
• The following are the major immediate postoperative complications encountered during cataract surgery often seen within a few days or weeks after the operation:
o Flat or shallow anterior chamber due to wound leak
o Choroidal detachment
o Pupillary block
o Ciliary block
o Suprachoroidal hemorrhage
o Stromal and epithelial edema
o Hypotony
o Brown-McLean syndrome (peripheral corneal edema with a clear central cornea most frequently seen following ICCE)
o Vitreocorneal adherence and persistent corneal edema
o Delayed choroidal hemorrhage
o Hyphema
o Elevated intraocular pressure (often due to retained viscoelastic)
o Cystoid macular edema
o Retinal detachment
o Acute endophthalmitis
o Uveitis-glaucoma-hyphema (UGH) syndrome
• The following are the major late postoperative complications seen weeks or months after cataract surgery:
o Suture-induced astigmatism
o Pupillary capture
o Decentration and dislocation of the IOL
o Corneal edema and pseudophakic bullous keratopathy
o Chronic uveitis
o Chronic endophthalmitis
o Wrong power of IOL used
• At any stage of the postoperative recovery of the eye, a risk of noninfectious endophthalmitis and infectious endophthalmitis exists. Noninfectious endophthalmitis is believed to be a multifactorial process or an interindividual variable response to a common factor as a hypersensitivity reaction. Treatment may range from the use of topical, transseptal, or oral steroids to the explantation of the intraocular lens. Ultimately, this may lead to infectious endophthalmitis. Of late, a significant increase in the incidence of gram-positive bacteria in bacterial isolates from postoperative eyes suspected of having endophthalmitis has been observed. Furthermore, a significant increase in resistance to ciprofloxacin has occurred. Seemingly, the spectrum of bacteria causing postcataract endophthalmitis is changing partly because of increased resistance to mainstay antibiotics in the treatment of endophthalmitis.
Prognosis:
• In the absence of any other accompanying ocular disease prior to surgery, which would affect significantly the visual outcome such as macular degeneration or optic nerve atrophy, a successful uncomplicated standard ECCE or phacoemulsification carries a very promising visual prognosis of gaining at least 2 lines in the Snellen distance vision chart. The main cause of visual morbidity postoperatively is CME. A major risk factor affecting visual prognosis is the presence of diabetes mellitus and diabetic retinopathy.
Patient Education:
• To date, no established guidelines are available for the prevention of senile cataracts. Education programs are geared toward early detection and surgical intervention when vision is impaired functionally. With the advent of phacoemulsification, patients are advised against delaying lens extraction to the point when the cataract is hard and mature and the likelihood of postoperative complications increases.
• For excellent patient education resources, visit eMedicine's Eye and Vision Center. Also, see eMedicine's patient education article Cataracts.
MISCELLANEOUS
Medical/Legal Pitfalls:
• Tasked with the pivotal role of restoring vision to a functionally impaired patient, the cataract surgeon must now also confront issues that may ultimately jeopardize the medical practice, for example, malpractice litigation, administrative sanctions in the form of expulsion from participation in third-part reimbursement plans, revocation or cancellation of hospital privileges, and, ultimately, limitation or loss of the license to practice. In addition, cut-throat competition coupled with profound changes in the eye care delivery system makes it necessary for the surgeon to be aware of the legal intricacies affecting increased productivity and income creation. The onset of office setting phacoemulsification under topical anesthesia performed in less than 30 minutes ironically has turned the art of cataract surgery into an industry. Remaining productive, creative, and fairly paid is both a concern and a challenge to the modern-day cataract surgeon. As such, the surgeon must be well informed of what is and what is not legal, to thrive and remain in business. Rabin grouped the current legal concerns of the ophthalmologist into 3 categories: (1) conventional malpractice liability, (2) surveillance for regulatory compliance, and (3) practice productivity and income creation.